Manajemen
Pengembangan Kompetensi Guru Kelas SD/MI Melalui Pembelajaran Tematik
Integratif Dengan Pendekatan Contextual Scientific
Learning (Oleh: Abd. Azis Tata Pangarsa, M.Pd)
A.
Manajemen Pengembangan
Kompetensi Guru Kelas SD/MI
1.
Manajemen Pengembangan
Manajemen pengembangan secara
etimologis merupakan penggabungan dua konsep yang secara maknawi memiliki
pengertian yang berbeda. Kedua konsep tersebut adalah manajemen dan pengembangan. Untuk
itu, penelusuran dimulai dari pengertian manajemen, diteruskan dengan sumber
daya manusia, dan diakhiri dengan memahami secara utuh pengertian manajemen
SDM.
Pengertian manajemen menurut Rue
& Byars adalah: ”Management is a form of work that involves coordinating
an organization’s resources-land, labour, and capital to accomplish
organizational objectives”. Sebuah bentuk manajemen yang melibatkan
koordinasi wilayah sumber daya organisasi, tenaga kerja, dan modal merupakan
sasaran pemenuhan tujuan organisasi tersebut. Selanjutnya Hasibuan, M. S (2003:
1-2) juga mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.[1]
Pengembangan menurut Beebe, et.al (2004: 8) adalah:
The concept of
development is a process often linked to both training and human resources. The
word development added to other terms suggests a broadening of the behaviors or
strategies to achieve a goal. Development is any behavior, strategy, design,
restructuring, skill or skill set, strategic plan, or motivational effort that
is designed to produce growth or change over time. Development is a process of
helping the organization or individuals in the organization do their jobs more
effectively. Development involves a set of strategies that can help an
individual or organization change to perform more effectively in achieving
individual or corporate vision, mission, and goals.
Konsep pengembangan
adalah suatu proses yang saling berkesinambungan antara pelatihan dan sumber
daya manusia. Kata pengembangan ditambahkan pada bagian lain yang mempengaruhi
perilaku atau strategi untuk mencapai suatu tujuan/hasil.
Pengembangan adalah segala
perilaku, strategi, desain, restrukturisasi, ketrampilan, perencanaan
strategis, atau usaha memotivasi yang dirancang untuk menghasilkan pertumbuhan
atau perubahan dari waktu ke waktu. Pengembangan adalah suatu proses untuk
membantu organisasi atau individu dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Pengembangan melibatkan satu set strategi yang dapat membantu individu atau
organisasi untuk lebih efektif dalam melaksanakan pencapaian individu atau visi
organisasi, misi, dan tujuan/hasilnya.
Keuntungan adanya pengembangan sumber daya manusia dalam
sebuah organisasi menurut Decenzo & Robbins (1999: 232) adalah sebagai
berikut:
Pengembangan
memberikan pendidikan yang diperlukan oleh pegawai dalam memahami dan
menginterpretasikan ilmu pengetahuan. (2) Pengembangan memfokuskan pada
perkembangan pegawai secara individual. (3) Pengembangan memberikan ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan secara menyeluruh. (4) Pengembangan menciptakan
sumber daya manusia yang mampu untuk menjabat pekerjaan yang memiliki tanggung
jawab yang lebih besar, analitis, memilki rasa kemanusiaan, terkonsep dan
memilki ketrampilan yang khusus. (5) Pengembangan menciptakan sumber daya
manusia yang mampu untuk berpikir dan memahami secara logis.
2.
Kompetensi Guru
Dalam kamus umum Bahasa
Indonesia, kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaaan untuk menentukan atau
memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi yakni kemampuan atau kecakapan.
Jadi kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam
mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan
dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Artinya guru bukan
saja harus pintar, tetapi juga harus pandai mentransfer ilmunya kepada peserta
didik.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
mengembangkan standar kompetensi guru dan dosen, karena yang memiliki kewenangan untuk
mengembangkan standar kompetensi guru dan dosen yang hasilnya ditetapkan oleh
Peraturan Menteri. Menurut UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1
ayat 10 “kompetensi adalah perangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan”. Kompetensi merupakan peleburan dari
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru untuk dapat melakukan tugas-tugas
profesionalisnya.[2]
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
Sebagai agen dalam pendidikan, guru dituntut professional dengan memenuhi empat
kompetensi tersebut.
3.
Guru Kelas SD/MI
Guru
adalah seorang pendidik yang mempunyai keahlian mentransfer ilmunya kepada
peserta didik dengan kata lain guru adalah tugasnya mengajar. Guru juga harus
mampu mengembangkan kemampuanya dalam mengajar, serta bisa lebih dewasa dalam
bersikap dan berpikir, sehingga mempunyai daya kompetensi dan psikilogis yang
stabil.
Kelas
merupakan bagian dari masyarakat sekolah yang diorganisir menjadi satu unit
kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar yang
kreatif untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam
kelas akan terjadi suatu proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik.
Sebagai pendidik,guru berkewajiban membantu pertumbuhan dan perkembangan
murid-muridnya dalam mewujudkan kedewasaannya. Kedewasaannya tersebut dapat
berupa kedewasaan biologis, psikologis, dan sosilogis. Sejalan dengan uraian di
atas maka tugas guru kelas sangat penting dalam terwujudnya kegiatan belajar
mengajar. Namun guru kelas dalam penggunaan pendekatan dan metode yang
digunakan dalam proses belajar mengajar belum dapat dilakukan secara optimal
mengingat tugas dan tanggung jawab guru kelas yang penuh akan beban sehingga
pendekatan dan metode sederhana yang digunakan kurang membawa dampak positif
bagi peningkatan prestasi belajar siswa.
Seorang
guru kelas, mempunyai tugas dan fungsi bukan hanya mentransfer ilmu saja. Namun
guru kelas juga mempunyai tugas dan fungsi sebagai :
a)
Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar
informatif, dan sumber informasi pelajaran.
b)
Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan kelas, silabus, jadwal
pelajaran dan lain-lain.
c)
Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan untuk
mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta
(kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
d)
Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
e)
Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
f)
Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan
dan pengetahuan.
g)
Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses
belajar-mengajar.
h)
Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
i)
Evaluator,
guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam prestasi
belajar maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak
didiknya berhasil atau tidak.
B.
Pembelajaran Tematik
Integratif
1.
Pengertian Pembelajaran
Tematik
Pembelajaan tematik adalah pembelajaran tepadu yang
menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat
memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Kurikulum
2013 untuk jenjang pendidikan tingkat dasar (SD/MI), menggunakan metode tematik
integratif. Metode ini sebenarnya bukan hal baru bagi guru kelas SD/MI. Di
kurikulum sebelumnya pun, untuk kelas rendah seperti kelas satu, dua dan tiga
sudah menggunakan metode pembelajaran tematik.[3]
Dalam metode tematik integratif, materi
ajar tidak disampaikan berdasarkan mata pelajaran tertentu, melainkan dalam
bentuk tema-tema yang mengintegrasikan seluruh mata pelajaran. Metode ini sudah
diterapkan di banyak sekolah. Karena dinilai berhasil, pemerintah lalu
mengadopsi dan berencana menerapkan metode ini secara nasional.
Metode tematik integratif adalah
pembelajaran yang menggunakan tema dalam mengaitkan beberapa materi ajar
sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna pada siswa. Tema adalah pokok
pemikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan. Tema akan yang
akan menjadi penggerak mata pelajaran yang lain, masing-masing kelas akan
disediakan banyak tema. Umumnya tiap tingkatan kelas mempunyai delapan tema
berbeda. Tema yang sudah dipilih itu harus selesai diajarkan dalam jangka waktu
satu tahun. Guru yang menentukan atau memilih teknis pengajaran maupun durasi
pembelajaran satu tema.
Satu tema yang dipilih oleh guru
dapat diintegrasikan pada enam mata pelajaran wajib yang ditentukan yaitu
Agama, PPKn, Matematika, bahasa Indonesia, Seni Budaya dan Pendidikan Jasmani
dan Kesehatan. Kurikulum 2013 SD/MI ini menekankan aspek kognitif, afektif,
psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio yang saling
melengkapi. Elemen perubahan kurikulum untuk jenjang SD/MI secara umum adalah
holistik integratif berfokus pada alam, sosial, dan budaya.
Dengan adanya perubahan pendekatan pembelajaran
pada kurikulum 2013, maka ada penambahan sebanyak empat jam pelajaran per
minggu. Metode tematik integratif membuat siswa
harus aktif dalam pembelajaran dan mengobservasi setiap tema yang menjadi
bahasan. Untuk kelas I-III yang awalnya belajar selama 26-28 jam dalam seminggu
bertambah menjadi 30-32 jam seminggu. Sedangkan untuk kelas IV-VI yang semula
belajar selama 32 jam per minggu di sekolah bertambah menjadi 36 jam per minggu.
C.
Pendekatan Contextual Scientific Learning
1.
Pendekatan Contextual
a)
Pengertian Pendekatan Contextual
Pendekatan
Contekstual atau Contextual
Teaching and Learning(CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa yang
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Pengetahuan dan keterampilan siswa dapat diperoleh dari usaha siswa
mengkontruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
Pembelajaran
CTL melibatkan beberapa komponen
utama pembelajaran produktif yakni, konstruktivisme, bertanya (questioning),
menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modelling), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment).
b) Latar Belakang Filosofis dan Psikologis Pendekatan Contekstual/ CTL
(1) Latar Belakang Filosofis CTL
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat
konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin berakar pada filsafat
pragmatisme yang digagas oleh Jhon Dewey pada awal abad 20-an yang menekankan
pada pengembangan siswa.[5]Dan
selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget.Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil
setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”.
Skema terbentuk karena pengalaman, dan proses penyempurnaan skema itu dinamakan
asimilasi dan semakin besar pertumbuhan anak maka skema akan semakin sempurna
yang kemudian disebut dengan proses akomodasi.
Pendapat Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk
dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model
pembelajaran, diantaranya model pembelajaran kontekstual..menurut pembelajaran
kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun
sendiri oleh siswa.
(2) Latar belakang Psikologis
CTL
Dipandang
dari sudut psikologis, CTL berpijak
pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi
karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis
seperti keterkaitan stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses mental yang
tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman.
Ada yang perlu dipahami tentang CTL,
diantaranya adalah:[6]
(a)
Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi
pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki
(b) Belajar bukan sekedar
mengumnpulkan fakta yang lepas-lepas.
(c)
Belajar adalah proses pemecahan masalah
(d)
Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang dari yang
sederhana menuju yang kompleks
(e)
Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari
kenyataan.
Setidaknya
ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pendekatan CTL, yaitu:[7]
(a) Pengaktifan pengetahuan yang sudah
ada (activating learning),
(b) Pemerolehan pengetahuan yang sudah
ada (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan
dulu, kemudian memperhatikan detailnya,
(c) Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), yaitu dengan cara menyusun
(1) hipotesis (2) melakukan sharing
kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan
itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan,
(d) Mempraktekkan pengetahuan dan
pengalaman tersebut (applaying knowledge),
(e) Melakukan refleksi (reflecting
knowledge) terhadap strategi pengetahuan tersebut.
a) Asas-Asas CTL
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki
7 asas.[8] Asas-asas ini yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL.Pembelajaran CTL melibatkan beberapa komponen utama
pembelajaran produktif yakni, konstruktivisme, bertanya (questioning),
menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modelling), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment).
2.
Pendekatan Scientific
a) Pengertian Pendekatan
Scientific
Pendekatan
scientific adalah pendekatan secara
ilmiah, guru kelas SD/MI harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific)
dalam proses pembelajaran pada pendidikan tingkat dasar, sebagai upaya
implementasi dari kurikulum 2013 dikarenakan
pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional.[9]
b)
Kriteria Pendekatan Scientific
Pendekatan
pembelajaran dapat dikatakan sebagai pendekatan ilmiah atau pendekatan scientific,
harus memenuhi kriteria berikut inierikut ini, yaitu:[10]
1) Materi pembelajaran berbasis pada
fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran
tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2) Penjelasan guru, respon siswa, dan
interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta,
pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3) Mendorong dan menginspirasi siswa
berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami,
memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4) Mendorong dan menginspirasi siswa
mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu
sama lain dari materi pembelajaran.
5) Mendorong dan menginspirasi siswa
mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan
objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6) Berbasis pada konsep, teori, dan
fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7) Tujuan pembelajaran dirumuskan
secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
c)
Langkah-Langkah Pembelajaran pada Pendekatan Scientific
Proses pembelajaran yanag mengimplementasikan
pendekatan scientific akan menyentuh
tiga ranah, yaitu: sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan
(psikomotor). Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil
belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif
melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Adapun
penjelasan dari diagram pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan
ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1)
Ranah
sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
“tahu mengapa.”
2)
Ranah
keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu bagaimana”.
3)
Ranah
pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu apa.”
4)
Hasil
akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki
kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari
peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
5)
Kurikulum
2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah.
6)
Pendekatan
ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana
dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk
jejaring untuk semua mata pelajaran.
[4] Johson, Elaine B, Contextual
Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan
Bermakna, (Bndung: Kaifa Learning, 2009). Hlm.15.
[5]Ibid. hlm. 26.
[8] Kesuma, Dharma,Contextual
Teaching and Learning Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM,(Garut:
RAHAYASA Research & Training, 2010), hlm. 62.
[10] Opcit.Hlm 1.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar