Pendidik dan Peserta Didik
Perspektif Al-Ghazali
APENDAHULUAN
”Setiap orang
adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah”. Kedua
kalimat itu dapat memunculkan pertanyaan jika cara pandang dalam mengartikannya
berbeda. Namun apabila kita telusuri, makna yang terkandung di dalamnya
cukuplah berarti untuk dijadikan inspirasi dan motivasi pada setiap diri
utamanya yang begelut di dunia pendidikan. Pengetahuan tidak harus diperoleh
melalui seseorang yang selalu memberikan ceramah, pengetahuan dan tidak hanya
diperoleh pada tempat tertentu, sekolah atau madrasah, tapi dapat diperoleh
dimana dan dengan siapa kita berada.
Setiap orang pastilah memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kemampuan dan hasil pemikirannya dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti kecendrungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya. Memahami hal
tersebut adalah suatu keharusan guna memahami hasil pemikiran seseorang, dan
pada gilirannya dapat mengantarkan kita kepada penilaian terhadap pendapat yang
dikemukakan itu, serta batas-batas kewajarannya untuk dianut atau ditolak.
Memahami latar belakang pencetus
ide dan idenya mengantarkan seseorang untuk tetap hormat kepadanya, atau paling
tidak, mengetahui alasan dan latar belakang kenapa dan bagaimana suatu ide itu
dikemukakan, sehingga dapat memberikan kepada pihak lain kesempatan untuk
menemukan dalih atau alasan pembenaran walaupun ide yang dikemukakan itu tidak
dapat diterima.
Hal seperti di atas juga berlaku
bagi al-Ghazali. Apa yang mereka ungkapkan dalam kitab-kitab mereka terutama
yang berkaitan dengan pendidikan, adalah hasil olah pikir al-Ghazali setelah
mengkontekskannya terlebih dahulu dengan lingkungannya.[1]
berdasrkan dasar itulah, maka
penting bagi kita untuk melihat riwayat kehidupan, pendidikan, kecenderungan
pemikiran dari al-Ghazali melalui biografi al-Ghazali sebelum kita membahas
pemikiran-pemikiran yang berkenaan dengan pendidikan yang dia ketengahkan dalam
kitab-kitabnya.
B. Biografi al-Ghazali
Nama lengkap dari Imam al-Ghazali adalah Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,[2] versi
lain menyebutkan adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad (bukan
Muhammad) al-Ghazali.[3] Imam
al-Ghazali lahir di kampung kecil Ghazalah, desa Thus, provinsi Khurasan,
wilayah Persia (sekarang kota Meshed, Iran) pada tahun 450 H atau 1058 M di
bawah pemerintahan Bani Saljuq-Abbasiyah.[4]
al-Ghazali tetap tinggal di kota kelahirannya Thus
bersama adik dan ayah angkatnya al-Rizkani sampai dengan umur dua puluh tahun.
Al-Ghazali belajar mengenai ilmu-ilmu agama secara mendalam kepada al-Rizkani,
lebih dari itu dia juga secara tekun mempelajari tasawwuf kepada Yussuf
an-Nassaj. Kemudian al-Ghazali melanjutkan pendidikan ke sekolah yang
memberikan beasiswa kepada murid-muridnya di Jurjan untuk mempelajari bahasa
Arab dan Persia pada tahun 479 H. Di Jurjan dia belajar secara khusus tasawwuf
kepada kepada Imam Abu Nasr al-Isma'ili>, dan ulama-ulama Jurjan di
masa itu.[5] Setelah
dari Jurjan, ia kembali lagi ke Thus selama tiga tahun.
Selanjutnya ia pergi ke Naisabur (Nishapur) dan masuk
madrasah Nizamiyah berguru kepada ulama terkenal di kala itu Imam Haramain
al-Juwaini yang menjadi guru besar di madrasah Nizamiyah Naisabur.[6] Al-Ghazali
mempelajari teologi, fiqh, ushul fiqh, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu alam di
madrasah tersebut. Karena kecerdasannya dia sering menggantikan al-Juwaini
mengajar dikala al-Juwaini berhalangan. Selain itu karena kemasyhuran namanya
dia sering mengikuti dialog dan seminar di kerajaan Abbasiyah atas undangan
perdana menteri Nizamul Mulk.
Karir akademik Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti
sampai disitu, setelah Imam Haramain wafat, oleh perdana menteri Nizamul Mulk
dia diangkat sebagai kepala Madrasah Nizhamiyah untuk mengisi jabatan yang
kosong setelah meninggalnya Imam Haramain. Padahal waktu itu umur Imam
al-Ghazali baru 28 tahun, namun kecakapannya mampu menarik perhatian seorang
perdana menteri. Hal itu terjadi pada tahun 484 H.
Setelah lima tahun menjabat sebagai kepala madrasah
Nizhamiyah, di tengah-tengah puncak kejayaannya, Imam al-Ghazali mengalami
guncangan batin yang mempertanyakan eksistensi dirinya dan kebenaran jalan
hidup yang dia lalui. Lalu dia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan
berniat melaksanakan ibadah haji. kemudia sesudah itu dia melakukankhalwat di Jami’
Umawiy di masjid Damaskus dan tenggelam dalam ibadah,
kemudian pergi ke Bait al-Maqdis untuk berziarah ke
makam-makam shuhada dan tempat bersejarah lainnya. Setelah itu
beliau pergi ke Mesir dan menetap di Iskandariyah, hal itu terjadi pada tahun
488 H.
Setelah sekitar sepuluh tahun berkhalwat, pada tahun
1105 M, al-Ghazali kembali ke Baghdad dan mengajar di madrasah Nizhamiyah lagi,
namun tidak seperti dulu yang mengajar ilmu fiqh dan ushul fiqh, kali ini dia
mengajar pelajaran tasawwuf.[7] Mengenai
kedatangannya kembali ke Baghdad dan kembali mengajar, Imam al-Ghazali pernah berkomentar:
“Dan aku
sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi
tidaklah itu boleh dinamakan “kembali”, karena kembali itu adalah berarti
melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu itu, aku menyebarkan ilmu adalah
didorong oleh keinginan mencari nama, dan untuk itu aku berdakwah dengan ucapan
dan amal perbuatan. Memang demikianlah tujuan dan niatku di kala itu. Adapun
sekarang sangatlah berbeda sekali, aku berdakwah dan menyebarkan ilmu adalah
untuk melawan hawa nafsu dan menghapuskan rasa megah diri serta kesombongan.Inilah sekarang maksud dan tujuanku, semoga Allah mengetahui niatku ini”.[8]
Setelah beberapa tahun mengajar
di Baghdad, Imam al-Ghazali kembali ke kotanya Thus karena kecintaannya kepada
keluarga. Di Thus,
al-Ghazali mendirikan sebuah halaqah yang khusus mempelajari fiqh dan tasawwuf.
Imam al-Ghazali terus mengajar di halaqahnya hingga wafatnya tahun 505 H atau
1111 M.
C. Pemikiran al-Ghazali tentang
Pendidikan
Landasana filosofis mengenai pendidikan ialah filsafat
yang kita dianut dan kita yakini adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, kalau kita berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat
pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat
pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan
dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh kita sebagai umat islam
pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut pemahaman orang islam
menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, perlu
menelusuri landasan filosofis pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir
maupun praktisi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang
pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa
sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan
dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib
Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami
filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah
pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang
orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain,
pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan
secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan
mengenai hakikat pendidikan Islam.[9]
Sebagai seorang ulama besar, filosuf di zamannya,
al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang multidisipliner dalam keilmuan. Oleh
karena itu, dia memiliki banyak karangan kitab yang membahas tentang berbagai
keilmuan Islam. Berbagai referensi yang ada menuliskan kalau dia mengarang
tidak kurang 700 kitab sepanjang hidupnya. Namun al-Dzahabi dengan sumber yang
kuat mengatakan bahwa jumlah kitab yang realistis dikarang oleh al-Ghazali
sepanjang hidupnya hanya sekitar 70-80 kitab saja, sebagaimana yang sampai
kepada generasi masa kini juga kurang lebih berjumlah 70-80 kitab. Adapun
cerita mengenai al-Ghazali mengarang 700 kitab, boleh jadi benar apabila
dihitung dengan ditambahkan lembaran-lembaran berisi syair, nasehat-nasehat
pendek, risalah yang ditulis oleh Hujjat al-Islam selama
hidupnya.[10]
Ada beberapa kitab, dari puluhan kitab yang dikarang
oleh al-Ghazali yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan,
baik pembahasan tersebut dibahas dalam satu kitab khusus atau bercampur dengan
pembahasan-pembahasan tentang tema lainnya. Beberapa kitab tersebut
adalah Ihya' Ulum al-Din, Murshid al-Amin, Bida>yah al-Hida>yah,
Ayyuha al-Walad, Mi'yarul Ilmi, Miza>n al Amal, Fati>hatul Ulum.
Pemikiran-pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan
sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitabnya adalah meliputi klasifikasi ilmu,
cara memperoleh pengetahuan, konsep guru serta murid di dalam pendidikan Islam.
1. Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam beberapa
kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif
al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan bagi pelajar.
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin dan Usman Said, al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu
sebagai proses dan ilmu sebagai obyek.[11]Dari
segi pertama ilmu dibagi menjadi ilmu h}issiyah, ilmu aqliyyah, dan ilmu
ladunni.Sedangkan ilmu sebagai obyek dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu
ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas
tertentu.[12]
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat
mendatangkan faedah atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan
akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan.
Bahkan, bila ilmu itu diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudlarat dan
akan meragukan terhadap kebenaran Tuhan, oleh karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan
kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu dalam golongan ini semisal ilmu tauhid,
fiqh, akhlaq.
Selanjutnya ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu,
yang tidak boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami
pengkajiannya pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan
mungkin mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat. Jadi dalam perspektif
al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai, ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari
harus dikaitkan dengan moral dan nilai guna.
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali
membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat,
yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fard}u 'ain) dan
ilmu yang fard}u kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh
segenap orang Islam, tetapi harus ada orang Islam yang mempelajarinya.[13]
2. Cara Mendapatkan Ilmu
Untuk mendapatkan ilmu, Al-Ghazali menyebutkan ada dua
cara. Pertama, yaitu mengikuti metode ulama, dan yang kedua
mengikuti metode sufiyyah.[14] Lebih jelasnya dua cara atau
metode tersebut tergambarkan dalam ilustrasi di bawah ini:
Metode pertama, t}ori>qu al-'ulama (metode
ilmuwan/scientist) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan
hakikat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan
sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai
hakikat pengetahuan dengan istilah ilmu mu'amalah. Kemudian, cara yang dipakai
untuk mendapatkan pengetahuan disebut tarti>bul bara>hin.
Selanjutnya, atau yang kedua, t}ori>qus
s}u>fiyah (metode sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang
mencapai hakikat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Sufistik tidak
menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti halnya
metode ulama. Sebagai gantinya, sufistik menekankan perilaku yang baik di
kehidupan. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam jalan sufistik melalui sebutan
ilmu muka>shafah dan ilmu tasawwuf. Kemudian, cara yang
dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, dia menyebutnya dengan istilah tazkiyat
al-nafs.
Selain menyebutkan cara memperoleh ilmu secara
teoritis sebagaimana disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan cara-cara
praktis dalam mencari ilmu yang didominasi oleh pemikiran tasawwuf. Sebagai
contoh al-Ghazali menganjurkan kepada setiap orang yang menuntut ilmu agar
memulai belajarnya dengan kebersihan hati (s}ofaul qalbi), karena
yang demikian akan mendatangkan kesuksesan di dalam belajar. Selain itu
al-Ghazali juga mengajarkan kepada pencari ilmu untuk tidak sombong (menganggap
remeh) terhadap ilmu dan juga selalu menghormati guru. Hal lain yang juga
disebutkan oleh Hujjatul Islam ialah agar pencari ilmu, memulai kegiatan
belajarnya dengan niat yang bagus (h}usnu al-niyah) dan
semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah dan mengharap ridla-Nya, tidak untuk
mencari pangkat, harta, dan kekuasaan.
3. Konsep Guru atau Pendidik
a. Definisi Guru
Dalam menjelaskan konsep guru atau pendidik,
Al-Ghazali memulai dengan menjelaskan definisinya secara tamthi>l (perumpamaan).
Dia berupaya untuk menjelaskan pengertian guru dengan mengatakan bahwa guru
adalah orang mengajarkan ilmu kepada manusia, menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan, dan mendekatkan hati kepada Allah. Lebih ringkas lagi, al-Ghazali
juga mengumpamakan profesi guru sebagai perantara antara Allah dan makhluk-Nya.[15] Dalam
kesempatan yang lain al-Ghazali juga mengatakan bahwa posisi guru memiliki kedudukan
tertinggi setelah pangkat kenabian.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan al-Ghazali
terlihat adanya titik pokok persamaan antara definisi guru yang dia maksudkan
dengan definisi-definisi guru yang dimaksudkan oleh para ahli pendidikan
modern. Menurut al-Ghazali guru bukan hanya seseorang yang hanya
melakukan transfer pengetahuan kepada peserta didiknya dan menitikberatkan
pengajaran kepada aspek kognitif saja. Tetapi lebih jauh lagi, seorang guru
juga diharuskan mengembangkan potensi peserta didik dari aspek afektif dan
psikomotoriknya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pengenalan dan pembiasaan
peserta didik terhadap lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai religius,
sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali dengan menyempurnakan, membersihkan, mensucikan,
dan mendekatkan hati kepada Allah.
Al-Ghazali memandang guru bukan sebagai profesi an
sich, tetapi lebih dari itu al-Ghazali mengatakan bahwasanya guru
adalah khalifah Allah yang menggantikan Allah dalam mengajari
makhluk-makhluk-Nya. Oleh karenanya al-Ghazali menganggap profesi guru dengan
segala usaha yang dilakukannya sebagai sebuah ibadah. Hal itu jelas lebih prestise dari
pada hanya menganggap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan dengan
menukil sebuah hadits, al-Ghazali menjelaskan bahwasanya posisi guru memiliki
kedudukan tertinggi setelah pangkat kenabian.
b. Kewajiban Guru
Al-Ghazali menuliskan pendapatnya mengenai kewajiban
guru dalam kitab-kitabnya dengan menggunakan redaksi wad}aiful murshidi
al-mu’allimyang secara sederhana bisa diartikan sebagai tugas-tugas/
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang guru. Namun dalam
prakteknya penjelasan tersebut tidak hanya berisi tugas dan kewajiban saja,
tetapi juga bercampur dengan peranan, kompetensi, dan juga etika guru. Hal
tersebut terjadi karena katawad}ifah juga memiliki banyak arti,
termasuk di antaranya adalah peran.
Wad}ifah pertama, al-Ghazali menerangkan tentang
seorang guru hendaknya mempunyai rasa belas kasihan kepada murid-muridnya dan
memperlakukan mereka layaknya sebagai anak kandungnya sendiri[16].
Wad}ifah kedua, al-Ghazali menjelaskan bahwa hendaknya mengikuti jejak Rasul SAW. Maka ia
tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih dengan mengajar itu. Bahkan,
seorang guru yang seharusnya memberikan upah dan balasan kepada murid, karena
dengan kegiatan mengajar tersebut, seorang guru memiliki kesempatan untuk
mengamalkan ilmunya.
Wad}ifah ketiga, al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang guru hendaknya memberikan bimbingan
kepada peserta didiknya tentang tahapan-tahapan belajar yang harus dilaluinya,
sehingga peserta didik tidak mempelajari suatu pelajaran yang belum seharusnya
dia pelajari. Dan hendaknya seorang guru juga bisa meluruskan niat peserta
didik dalam mencari ilmu, yaitu hanya semata-mata bertaqarrub kepada
Allah bukan karena hal lain.
Wad}ifah keempat, menurut al-Ghazali, seorang pendidik hendaknya bisa membimbing peserta
didiknya untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak baik dengan cara-cara yang
simpatik.
Wad}ifah kelima, seorang guru menurut al-Ghazali tidak boleh menghina mata pelajaran lain
yang tidak dia ajarkan atau bukan menjadi tanggungjawabnya, baik hal itu
dilakukan karena menganggap remeh mata pelajaran tersebu atau karena sebab
lainnya.
Wad}ifah keenam
dan ke-tujuh, seorang guru yang ideal menurut al-Ghazali adalah guru yang mampu
membaca, dan menganalisa potensi anak didiknya. Kepada murid yang tingkat
intelengesianya rendah, janganlah diberikan pelajaran yang rumit yang nantinya
akan membuat murid takut untuk mempelajari lagi ilmu tersebut.
Sedangkan bagi murid yang memiliki kepekaan dalam pemahamannya, maka
hendaknya diberikan pelajaran dan soal-soal yang sesuai dengan kemampuannya
sehingga murid tidak menjadi bosan.
Wad}ifah kedelapan, al-Ghazali menegaskan seorang guru harus mengamalkan ilmunya, jangan
sampai apa yang guru sampaikan bertentangan dengan apa yang guru lakukan.
Kesatuan antara perkataan dan perbuatan guru, menunjukkan integritas moral dan
keilmuan dari guru tersebut.[17]
c. Hak Guru
Al-Ghazali selain menuliskan
tentang wad}ifah guru, di dalam kitabnya juga menuliskan tentang wad}ifah murid.
Hal ini dilakukan agar terjadi keseimbangan antara status guru dan murid. Dari
beberapa wad}ifah murid yang dia terangkan, ada satu yang
berkenaan dengan kewajiban murid terhadap gurunya yang juga bisa dipahami
sebagai hak guru terhadap muridnya. Kewajiban tersebut adalah seorang murid
dianjurkan taat terhadap gurunya dan tidak menyombongkan diri kepadanya.[18]
Hak guru yang dimaksud oleh al-Ghazali
bukanlah hak tentang insentif yang harus didapatkan dan juga tunjangan material
lainnya yang bisaa dikenal pada saat ini. Tetapi hak tersebut adalah secara
psikis yang apabila direnungi lebih dalam, memiliki nilai yang lebih tinggi
dari pada hak-hak yang bersifat materialistis. Sebagai pertimbangan, seorang
guru akan lebih senang apabila semua ucapannya didengarkan, nasehatnya diikuti,
dan perintahnya dilakukan walaupun karena beberapa hal dia tidak menerima
bayaran. Dari pada menerima bayaran, namun ucapannya diacuhkan, nasehatnya
diabaikan, dan perintahnya ditinggalkan.
d. Etika Guru
Al-Ghazali juga menerangkan
beberapa etika murid terhadap guru, dan juga etika yang seharusnya dimiliki
guru. Mengenai hal yang pertama, al-Ghazali banyak menuliskan tentang hal-hal
yang berkenaan dengan tatakrama atau sopan santun murid terhadap gurunya.
Sedangkan mengenai etika yang harus dimiliki oleh guru, al-Ghazali banyak
menuliskan nila-nilai moral yang harus dilakukan oleh guru seperti
tanggungjawab, sabar, tidak sombong, dan ramah.[19]
4. Konsep Murid
a. Kewajiban Murid
Al-Ghazali menerangkan tentang kewajiban murid di
dalam kitab Ihya>’dengan menggunakan redaksi kata yang sama
seperti halnya kewajiban guru, yaituwad}ifah. Adapun wad}ifah yang
harus dijalankan oleh seorang murid dalam kegiatan belajarnya ialah sebagai
berikut:[20]
Pertama, meminimalisasi rintangan yang akan dihadapi dalam
kegiatan belajarnya. Fokus dalam belajar adalah kunci utama keberhasilan
mencari ilmu. Allah hanya menciptakan satu hati kepada setiap manusia, jika
perhatian terbagi, maka hasil yang dicapai tidak akan pernah maksimal.
Kedua, memperdalam sebanyak mungkin disiplin keilmuan yang
ada, dengan terlebih dahulu memperhatikan skala prioritasnya. Setelah itu baru
kemudian memperdalam satu ilmu yang paling penting bagi dirinya.
Ketiga, sebaiknya mengetahui dengan seksama hubungan antara
ilmu dan tujuan-tujuan dari ilmu itu sendiri. Sehingga tidak salah memilih ilmu
yang akan dipelajarinya.
Di samping itu, Muhammad Athiyyah Al-Abrasy
sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa seorang murid juga
harus memuliakan gurunya, bersikap rendah hati atau tidak takabbur, merasa satu
bangunan dengan murid lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari dari berbagai
madhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran serta mempelajari
berbagai ilmu dengan bersungguh-sunggu dalam mencapai tujuan dari tiap ilmu
tersebut.[21]
b. Hak Murid
Al-Ghazali tidak menjelaskan secara eksplisit tentang
hak murid dalam kitab-kitabnya, namun etika dan kewajiban guru terhadap murid,
juga bisa dimaknai sebagai hak murid. Pertama, seorang murid berhak untuk
mendapatkan pengajaran dan perlakuan yang baik dari seorang guru. Kedua, murid
juga berhak mendapatkan pengganti peranan orang tua di dalam sosok guru selama
menjalani proses pendidikan.[22]
c. Etika Murid
Ada dua macam etika yang ditekankan oleh al-Ghazali
terhadap seorang murid, etika terhadap dirinya dan etika terhadap orang lain,
terutama kepada gurunya sendiri. Etika terhadap diri sendiri maksudnya adalah
seorang murid dilarang untuk berlaku sombong, iri hati, marah, cepat puas, dan
sifat-sifat tercela lainnya. Hal-hal tersebut hanya akan menjadikan hatinya
bebal dan sulit mendapatkan ilmu. Etika terhadap seorang guru adalah tidak
menentang perintah gurunya, dan tidak berlaku sombong terhadap guru.[23]
D. PENUTUP
Kesimpulan
Al-Ghazali adalah seorang filosuf
yang sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan yang dinilainya sebagai
pembawa dan penentu corak kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
pemikiran filosofisnya yang berkaitan dengan pendidikan, di antaranya meliputi
konsep: klasifikasi tentang ilmu, proses mendapatkan ilmu, konsep guru dan
murid. Semua konsep tersebut tertuang dalam beberapa kitab al-Ghazali yang
membahas tentang pendidikan seperti Ihya' Ulumiddin, Murshid
al-Amin, Bidayah al-Hidayah, Ayyuha al-Walad, Mi'yaru al-Ilmi,
Mizan al-Amal, dan Fatihatu al-Ulum.
Semua konsep yang dimilikinya
bertujuan untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran yang sebenarnya. Meski tidak
menutup kemungkinan adanya ketidak sepahaman bahkan penolakan terhadap konsep
tersebut dari berbagai kalangan. Karena kehidupan sosio-kultural pada saat itu
belum tentu sama dengan sekarang. Pemikiran al-Ghazali khususnya yang berkaitan
dengan pendidikan banyak dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di tempat dan
pada saat al-Ghazali mencetuskan pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam
Al-Ghazali. Surabaya: Bulan Bintang, 1995.
Al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-Dasar Pendidikan
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Al-Tuwanisi, Ali al-Jumbulati Abdul Futuh. Al-Muqa>ranah
fi> Tarbiyah al-Isla>m. Beirut: al-Manshurah, 1994.
Al-Dzahabi, Syamsuddin. Siya>r al-A’lam
al-Nubala. Beirut: Mu’assat al Rislah, 1986.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Fati>hat al-Ulu>m.
Kairo: Matba’ah al-Husainiyah al-Misriyah.
__________________. Miza>n
‘Amal. Kairo: Matba’ah al Islamiyah
__________________. Ihya>’
Ulu>m al-Din. Surabaya: al-Hidayah, 1957.
__________________. Al-Munqi>dh min
al-Dhala>l wa al-Musil ila> dhi> al-Izzah wa al-Jalal. Beirut:
Lajnah al Lubnaniyah, 1996.
__________________. Mursyi>d
al-Ami>n. Beirut: Darl al-Fikr, 1996.
__________________. Bida>yah
al-Hida>yah. Surabaya: al-Hidayah, 2004.
Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Ima>m al-Ghazali>
Baina Madi>hi>hi wa Naqi>dihi>. Kairo: Darl Wafa, 1988.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafat
Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Asari, Hasan. The Educational Thought of
al-Ghazali, Theory & Practice. Montreal: Mc. Gill University,
1993.
Bakri, Masykuri dan Nur Wakhid. Quo Vadis
Pendidikan Islam Klasik, Perspektif Intelektual Muslim. Surabaya:
Visipress, 2009.
Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan
Islam dan Perkembangannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Duni
Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya:
Risalah Gusti, 2003.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Pola
Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran Tasawwuf al-Ghazali. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001.
____________. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: PUSTAKA,
1997.
Watt, W.
Montgomery. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: Lentera, 1979.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar