Pendidikan Agama dalam Keluarga
Dalam
Islam ada konsep keluarga sakinah yakni keluarga yang tenteram di mana
suami-istri dituntut menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmoni antara
kebutuhan fisik dan psikis. Yang dimaksud psikis adalah menjadikan keluarga
sebagai basis pendidikan sekaligus penghayatan agama anggota keluarga.
Sedang pendidikan
agama adalah lebih sakral dan bersifat sepanjang hidup, yang di dalamnya
mencapai target matang (mature) bukan sekadar kaffah (kuantitatif) atau
relegiusitas, tetapi kedalaman spiritualitas (haqqa tuqatihi). Oleh karena
keberagamaan seseorang bersifat spiritualitas, maka menjadi amat privat.
Pengetahuan yang sama tentang agama antarseseorang belum tentu sama dalam
ketakwaan. Di sinilah pendidikan agama menjadi penting diletakkan dalam wilayah
yang tidak disekat sistem. Penghayatannya harus paduan antara pengetahuan dan
pengalaman. Karena keluarga sebagai basis interaksi secara utuh dalam
keseharian seseorang, maka amat tepat pendidikan agama dipercayakan kepada
keluarga.
Aktivitas ritual
agama dalam konteks ke-umatan di Indonesia menunjukkan gairah luar biasa;
demikian juga penggunaan agama dalam konteks kehidupan berbangsa, acapkali
agama bisa menjadikan inspirasi bahkan legitimasi positif bagi sebuah program
pemerintah. Namun di sisi lain, agama juga menanggung beban berat saat ia
ditempatkan sebagai alat propaganda. Pada posisi seperti ini agama sebagai
obyek penderita segala kepentingan.
Dalam konteks
Islam sekarang, terjadi reduksi terhadap nilai-nilai agama sehingga sebagai
pedoman untuk setiap umat dan zaman, agama terkesan tidak mengenal pluralitas.
Kenapa terjadi ? Pertama, kuatnya belenggu dogma agama dan tradisi
keberagamaan. Secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang
distortif mengenai ajaran dan fungsi agama, sehingga tidak bisa membedakan mana
dogma dan mana pemikiran terhadap dogma. Akibatnya, agama menjadi kering dan
kaku, bahkan tidak jarang menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai kemanusiaan. Dalam upaya mengembalikan fungsi dan ajaran agama, maka
diperlukan rekonstruksi pemahaman keagamaan.
Kedua,
telah terjadi reduksi nilai universalitas agama oleh agamawan, dengan model
tafsir tunggal kebenaran. Para agamawan kebanyakan melakukan hermeunetisasi
dogma agama dilandasi kepentingan aliran yang dianutnya. Kita ketahui ormas
keagamaan dalam menjalankan gerakannya mau tidak mau berinteraksi dengan
kekuatan lain. Dalam konteks interdependensi inilah sebuah lembaga melakukan
manifestasi eksistensi kelompoknya, termasuk dengan kelompok seagamanya namun
beda aliran.
Yang
mengkhawatirkan dari reduksi universalitas agama mengakibatkan agama tersekat
dalam tempurung sempit dan mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya
bisa dalam bentuk fanatisme sempit yang tidak rasional; bahkan menimbulkan
ketakutan terhadap agama atau kelompok lain. Munculnya kecemasan yang
berdimensi agama bisa diindikasikan kuatnya faktor ini.
Ketiga, selama ini telah terjadi
politisasi agama, sensitivitas agama pada umat menjadi situasi di bawah sadar,
pluralitas seakan menjadi barang haram bagi sebagian orang. Runyamnya,
"angan-angan ketakutan ini" mewujud dalam intervensi di berbagai
sektor. Bahkan, menyampingkan hal-hal problem substansial yang ada. Pembebasan
pendidikan agama dari ruang sempit harus dimulai dari wilayah yang paling basis
yakni keluarga; meletakkan pendidikan agama dalam keluarga sesungguhnya bukan
menyekat tetapi meletakkannya sebebas mungkin. Sebaliknya, ia menjadi
terkungkung manakala dikurung sistem, aturan, kurikulum, modul, jenjang, dan
hasil matematis yang dibanggakan dalam angka di buku rapor yang diterima murid
per semester.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar