Posisi
Pendidikan Swasta dalam Sisdiknas
Abd. Azis Tata Pangarsa
A. Pendahuluan
Pendidikan,
sebagai suatu kegiatan, proses, hasil, dan sebagai ilmu, pada dasarnya adalah
usaha sadar yang dilakukan manusia sepanjang hayat guna memenuhi kebutuhan
hidup. Pandangan ini, secara umum, telah menjadi istilah konvensional di masyarakat dan sarana manusia memperoleh
pengetahuan secara berkesinambungan. Di Indonesia, istilah pendidikan ini
tertuang dan dilegitimasi oleh pemerintah dalam UU Sisdiknas[1]
(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional), sehingga menjadikannya mapan secara
definitif, jelas dan terarah.
Pada dataran realita, pendidikan sering
dimanifestasikan dalam tiga jalur, yaitu pendidikan formal, non-formal dan informal. Tiga bentuk jalur ini telah banyak mewarnai dan
membimbing kehidupan manusia ke arah lebih baik. Selanjutnya, keberadaan
pendidikan seperti itu telah "mengikat" dalam proses keberhasilan
suatu bangsa dan negara. Khusus mengenai pendidikan dalam arti formal (baca: sekolah/ madrasah),
kendati diakui banyak memberi kontribusi positif bagi pencerdasan kehidupan
bangsa, ternyata keberadaannya mengandung permasalahan kompleks, baik dari segi
pemikiran maupun implementasi. Permasalahan tersebut antara lain adalah adanya
fenomena sekolah/ madrasah negeri dan swasta yang hadir dalam Sisdiknas. Dua
lembaga pendidikan formal ini, selanjutnya, memunculkan "kecurigaan"
pemikiran dan pandangan yang berbeda-beda. Sekolah negeri dan sekolah swasta,
yang masing-masing dikelola oleh dua lembaga berbeda, pemerintah dan
non-pemerintah (masyarakat atau yayasan) seakan menyodorkan
"kecurigaan" tersebut. Dan yang menjadi akar ajang kecurigaan
tersebut adalah satu, yaitu kebijakan pemerintah.
Disinyalir bahwa kebijakan pemerintah terhadap dua
lembaga pendidikan formal di atas masih diskriminatif, sehingga
"kecurigaan" terhadapnya perlu dijadikan problem transparan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada tidak mencerminkan keadilan, terutama
masalah subsidi dan anggaran. Sekolah/
madrasah negeri diprioritaskan, sementara
sekolah/ madrasah swasta dinomor-duakan. Padahal apabila dikaji lebih jauh,
lembaga pendidikan swasta telah membuktikan loyalitasnya pada
ketentuan-ketentuan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dan harus
diakui bahwa lembaga pendidikan swasta adalah bentuk pertama yang hadir
dalam ranah pendidikan Indonesia.
Ironis memang, tetapi itulah realitas. Dikotomisasi terhadap keduanya terus
berjalan hingga kini.
Permasalahan
posisi dua lembaga pendidikan di atas perlu mendapat porsi pembahasan yang utuh.
Tetapi, karena pendidikan swasta yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini,
maka pembahasannya pun hanya terbatas pada bagaimana keberadaan dan posisi
pendidikan swasta dalam sistem pendidikan nasional. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada kondisi pendidikan
swasta dan harapannya dalam konstelasi perpolitikan pendidikan nasional.
B. Kondisi
Pendidikan Swasta Dalam Sisdiknas
Perlu diketahui, maksud pendidikan swasta[2] disini adalah pendidikan sekolah/
madrasah yang diselenggarakan oleh organisasi swasta atau non-pemerintah. Dasar
kehadirannya adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah dalam usahanya
mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan
swasta ikut berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat
dan menyadarkannya akan kebutuhan pengetahuan, sehingga mereka mampu
menciptakan kreativitas baik dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.[3]
Secara
historis, kemunculan pendidikan swasta sudah ada sebelum Indonesia
merdeka. Format awal lembaga-lembaga pendidikan swasta pada waktu itu lebih
bersifat keagamaan. Pesantren atau yang semisal dengannya (surau, kedah
dan lainya) bisa dikatakan sebagai bentuk awal lembaga pedidikan swasta yang
bersifat keagamaan, di mana mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam
banyak memanfaatkan lembaga ini sebagai sentra pendidikan (agama). Walau
mengambil bentuknya yang tidak formal, keberadaan pesantren ini sebagai lembaga
pendidikan dianggap berhasil dalam menciptakan pribadi-pribadi yang sadar
secara agama dan berhasil membentuk watak masyarakat Indonesia.
Pada masa
pemerintahan penjajah Belanda, pendidikan yang bersifat formal mulai tercipta.
Dalam hal ini, pemerintah Belanda mulai mendirikan lembaga pendidikan yang
berbentuk sekolah-sekolah (negeri) untuk menunjukkan kontribusinya yang positif
bagi kehidupan masyarakat jajahan. Pada awalnya pendidikan yang mereka ciptakan
bersifat netral dengan tidak mencampuri urusan-urusan agama. Kebijakan
netralitas ini kemudian memberi inspirasi pihak swasta (terutama lembaga
keagamaan) untuk mendirikan sekolah-sekolah/ madrasah-madrasah menurut pola dan
sistem pendidikan negeri. Dari sinilah timbul sekolah-sekolah swasta dari
golongan Katolik dan Zending (penjajah) serta sekolah/ madrasah dari golongan
Islam (pribumi).
Dari
golongan Islam di antara sekolah/ madrasah yang muncul adalah sekolah/ madrasah
pendidikan Muhammadiyah dan Ma'arif. Di lain pihak, juga muncul
sekolah-sekolah yang tidak mendasarkan pada asas keagamaan, yaitu antara lain
sekolah Kartini dan Taman Siswa. Sekolah-sekolah swasta ini, atas
dasar kebijakan Jenderal Van Heutz seorang gubernur pemerintahan penjajah
Belanda, kemudian mendapat subsidi dari pemerintah Belanda dengan syarat
mematuhi peraturan dan tidak mengganggu ketertiban umum.[4]
Sekolah-sekolah swasta (khususnya sekolah/ madrasah berasas Islam yang mendapat
restu dari penjajah) pada masa ini mengalami transformasi dan bebas
mengekspresikan diri untuk berkembang pada arah yang lebih maju.
Tetapi,
pada masa penjajahan Jepang[5]
keadaan seperti itu sempat terhenti, bahkan stagnan. Hal ini disebabkan karena
kebijakan pemerintahannya menghapus segala bentuk pendidikan yang berbau
swasta, kecuali pendidikan kejuruan. Pendidikan swasta, seperti Taman Siswa
sebagiannya "digusur" dan harus menyerahkan Taman Madyanya pada
Jepang.
Itulah
kondisi umum pendidikan swasta pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia
merdeka, kondisi sekolah-sekolah/ madrasah-madrasah swasta berubah drastis.
Keinginan untuk mengisi kemerdekaan dengan sadar pendidikan mulai digalakkan.
Sekolah/ madrasah swasta yang sebelumnya hanya "setengah-setengah"
dalam melaksanakan pendidikan mulai menampakkan identitasnya secara
terang-terangan dan dengan idealitasnya ingin memberi kontribusi bagi kemajuan
masyarakat Indonesia.
Fenomena semacam ini, untuk sementara, menafikan dikotomisasi antara pendidikan
yang diselenggarakan oleh swasta dan oleh pemerintah.
Pada masa
awal kemerdekaan (tahun 1946-1950), secara umum kondisi dan posisi pendidikan
swasta dalam pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut laporan Panitia Penyelidik Pengajaran
pada waktu itu (1946), pendidikan swasta diperlakukan secara wajar, bahkan
dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa ada diskriminasi. Di antara isi laporan
tersebut yang tidak diskriminatif adalah tentang adanya persamaan dalam hal
ijazah, di mana ijazah negeri dan swasta tidak dibedakan. Juga, dibolehkannya
murid-murid sekolah swasta untuk berpindah atau melanjutkan pelajarannya di
sekolah negeri.[6]
Selanjutnya,
dalam undang-undang no. 4 tahun 1950 pasal 14 tentang subsidi bagi sekolah
swasta disebutkan bahwa sekolah swasta dapat menerima subsidi dari pemerintah
untuk pembiayaan sekolah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan
pemerintah. Subsidi ini bisa
diberikan seratus persen atau sekedarnya kepada semua jenis dan tingkat
sekolah.
Perhatian pemerintah yang cukup besar pada
pendidikan swasta sebagaimana disebutkan di atas, kemudian membawa pada kondisi
yang lebih baik dan menguntungkan bagi penyelenggara pendidikan swasta. Bahkan,
ketika pemerintah pada waktu itu menginstruksikan untuk mendirikan sekolah
swasta sebanyak-banyaknya dan pemerintah bertanggung jawab dalam hal subsidi
dan bantuan lainnya seperti guru (sebagaimana tertuang dalam UU No. 4 tahun
1950), banyak masyarakat yang berlomba-lomba menciptakan lembaga pendidikan
untuk bersaing dalam proses pembangunan Indonesia. Tetapi, kemunculan
pendidikan swasta ini tidak sepenuhnya hanya demi mendapat subsidi dari pemerintah,
karena banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang tidak tergantung, bahkan
tidak mau menerima bantuan pemerintah tersebut.
Kondisi dan posisi pendidikan swasta di atas, pada
tahun-tahun berikutnya mengalami perubahan yang bertolak belakang. Pada akhir
tahun 80-an, lahirnya Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas dengan
idealisasi "setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk
belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan" (UU No. 2 Tahun 1989
Pasal: 5,6,7,8 dan 47), ternyata secara realitas tidak terbukti. Adanya
diskriminasi antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri
adalah salah satu bukti ketidak-harmonisan antara idealitas UU dengan realitas
yang ada itu. Dalam hal ini, Mastuhu[7] mengatakan bahwa masih terdapat
ketidak-adilan, bahkan tidak demokratis antara keduanya. Dia mencontohkan
dengan masih adanya pengelompokkan sekolah swasta secara kualitas dengan
sekolah negeri, di mana sekolah swasta dikelompokkan menjadi Terdaftar, Diakui
dan Disamakan dengan sekolah negeri. Begitu pula masalah pembiayaan dan masalah
tata cara penerimaan siswa, praktek diskriminasi begitu mencolok. Dalam praktek
penerimaan siswa atau mahasiswa, misalnya, hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang bisa merasakan lembaga pendidikan negeri (terutama PTN), dan
masih banyak contoh yang lainnya.
Senada dengan hal itu, lahirnya UU No. 23 Tahun
2003 tentang Sisdiknas tidak jauh berbeda dengan kondisi masa UU sebelumnya.
Pendidikan swasta secara eksplisit tidak tercantum dalam UU yang baru ini,
sehingga keberadaanya dianggap misterius atau tidak jelas. Achlan Husein, Ketua
Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), melansir bahwa "dalam UU
Sisdiknas hanya disebutkan adanya sekolah negeri milik pemerintah dan lembaga
pendidikan dengan partisipasi masyarakat yang konteksnya tidak jelas".
Dengan demikian keberadaan sekolah swasta tidak dihiraukan sama sekali dalam
UU, meskipun secara eksplisit disebutkan dalam masalah peran masyarakat (lihat:
pasal 54).
Lebih
lanjut, hasil penelitian ADB (Asian Development Bank) dan UHK (The Univesity of
Hongkong) tentang sistem pendidikan nasional kita, memperparah kondisi dan
posisi riil pendidikan swasta. Penelitian ini membuktikan adanya diskriminasi
bantuan dana antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri,
terutama yang berupa dana penyelenggaraan (recurrent
budgets) dan dana pengembangan (development
budgets). Untuk SLTP, misalnya, siswa sekolah negeri yang siswanya mencapai
4.684.000 mendapat bantuan dana penyelenggaraan sebesar 1.760 milyar, sedangkan
pada siswa sekolah swasta yang mencapai 2.262.000 mendapat bantuan dana
penyelenggaraan 29 milyar, sehingga nominal yang didapat setiap siswa sekolah
negeri adalah 376 ribu rupiah, sedang siswa sekolah swasta nominalnya hanya 21 ribu.
Contoh ini jelas-jelas membuktikan terjadinya diskriminasi, sehingga
tidak salah ketika kualitas dan kuantitas sekolah swasta pada umumnya di bawah
sekolah negeri.
Sistem
pendidikan nasional diselenggarakan secara diskriminatif, jauh dari yang diidealkan,
yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan
menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan (Undang-undang No. 2 tahun 1989, pasal
5, 6, 7, 8 dan 47). Dalam kenyataannya, pelaksanaan sistem pendidikan
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola masyarakat berbeda dengan
yang dikelola pemerintah (negeri). Sekolah swasta dikelompokkan menjadi tiga; terdaftar, diakui, dan disamakan
dengan negeri.
Perlu diketahui bahwa masyarakat mempunyai peranan
penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan dan
penentuan kebijakan pemerintah di Indonesia. Secara umum sumbangan sekolah
swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali, walaupun belum optimal. Secara
kuantitatif keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta jumlahnya sangat
signifikan. Data berikut belum termasuk sekolah keagamaan, dari 150.147 SD,
10.306 atau 7 % diantaranya merupakan SD swasta. Dari 20.866 SLTP, ternyata
11.371-nya atau 50% diantaranya merupakan SLTP swasta. Dan dari 15.647 SLTA, ada 11.435 atau 73% adalah SLTA swasta. Untuk
tingkat perguruan tinggi dari 1.633 PT, ada 1.557 atau 95% diantaranya
merupakan PT swasta.
Sementara itu untuk data sekolah keagamaan
(madrasah) sebagai berikut: dari 21.454 MI, 20.000 atau 95% diantaranya merupakan
MI swasta. Dari 9.850 MTs, 8.672 atau 88% diantaranya MTs swasta. Dan dari
3.578 MA, 2.977 lembaga atau 83% diantaranya merupakan MA swasta. Untuk PTAI
dari 298, 251 lembaga atau 84% diantaranya adalah PTAI swasta.[8]
Kenyataan di atas, sebenarnya bisa diperbaiki
dengan syarat demokratisasi dan harmonisasi antara pendidikan swasta dengan
pendidikan negeri dijadikan landasan utama dalam proses pendidikan. Dalam hal
ini, Pemerintah sebagai penguasa dengan bermitrakan masyarakat dan
komponen-komponen lainnya diharapkan mampu untuk mewujudkannya.
Memang apabila dilihat secara kuantitatif,
keberadaan pendidikan swasta dalam Sisdiknas telah memberi kontribusi yang
sangat bervariasi. Penelitian-penelitian yang banyak dilakukan orang ataupun
lembaga yang kompeten terhadap masalah pendidikan menyebutkan bahwa lembaga
pendidikan swasta (sekolah/ madrasah) mendominasi secara kuantitas baik itu
mulai pra sekolah, dasar, menengah dan PT.[9] Tetapi, pemberdayaan kuantitas ini kurang
didukung oleh pemerintah sebagai pembina dan pencetus sistem pendidikan, bahkan
sepertinya pemerintah tidak mau tahu urusan ini (dalam kenyataannya urusan
mereka hanya pada lembaga pendidikan negeri), sehingga kualitas keberadaan
lembaga pendidikan swasta cenderung menurun dan selalu berada di bawah lembaga
pendidikan negeri yang di"anak emas"kan. Kondisi semacam ini masih
berlangsung hingga sekarang.
C. Harapan dalam Konstelasi Perpolitikan
Pendidikan.
Kondisi pendidikan swasta dalam Sisdiknas, yang
telah diuraikan sebelumnya, terpuruk dalam dua poros; pertama,
eksistensinya yang, secara yuridis-formal "tak jelas", kedua,
pendidikan swasta di"nomor dua"kan dalam memperoleh subsidi maupun
bantuan teknis dari pemerintah, kendati tercantum jelas bahwa pendidikan
berbasis masyarakat (baca: swasta) dapat memperoleh bantuan dari pemerintah
pusat/ pemerintah daerah secara adil dan merata.[10] Padahal, kendati secara kualitatif belum
ada penelitian yang khusus mengungkap tentang sejauh mana kontribusi lembaga
swasta terhadap pendidikan di Indonesia, secara umum dapat digeneralisasikan
bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali walaupun
kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas sekolah
swasta.
Lebih jauh Achlan Husein mengatakan, kontribusi
lembaga pendidikan swasta untuk membangun dan memberdayakan SDM sudah amat
jelas hingga harus diakui oleh pemerintah. "Pemerintah tak bisa lagi
membeda-bedakan antara lembaga pendidikan negeri dengan swasta sehingga
seharusnya bantuan dari pemerintah juga disalurkan pula ke sekolah swasta.
Harus ada keseimbangan perlakuan sekolah negeri dengan sekolah swasta.
Pemerintah didesak untuk mengubah kebijakan
diskriminatif dalam bidang pendidikan yang lebih mementingkan keberadaan
sekolah-sekolah negeri dan cenderung mengabaikan keberadaan sekolah swasta.
Kebijakan yang diskriminatif itu menjadi pemborosan investasi dalam bidang
pendidikan. Anggaran pemerintah dalam pendidikan sepantasnya bila dialokasikan
pula untuk mensubsidi sekolah-sekolah swasta yang bermutu agar tetap eksis
meski jumlah muridnya kecil.
Pendidikan swasta, punya hak mendapatkan alokasi
anggaran pendidikan baik dari pemerintah pusat atau daerah. Keterlibatan swasta
dalam penyelenggaraan pendidikan justru meringankan beban pendidikan negara.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah menghidupkan kembali subsidi kepada
sekolah-sekolah swasta bermutu seperti pernah diterapkan pada 1950-an. Dengan
cara itu sekolah swasta bisa mempertahankan mutu.
Selama ini pemerintah selalu berdalih keuangan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sekolah negeri pun tidak cukup. Padahal
pemerintah adalah pemerintahan milik seluruh rakyat sehingga anggaran
pemerintah harus dipakai untuk semua orang. Apalagi UU Pendidikan Nasional
tidak lagi membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Karena itu, dari segi
tanggung jawab mestinya sama-sama. Untuk mendukung perguruan swasta, pemerintah
bisa memulainya dengan memberikan berbagai kemudahan kepada swasta, mulai dari
membebaskan swasta dari biaya Izin Mendirikan Bangunan, Pajak Bumi Bangunan (PBB),
dan hal-hal sederhana lainnya.
Jika pemerintah dianggap telah gagal menjalankan
kebijakan pendidikan sehingga pendidikan Nasional Indonesia termasuk yang
paling jelek di dunia, maka pernyataan itu ada benarnya; dan salah satu kunci
kegagalannya terletak pada adanya ketidakadilan terhadap pendidikan swasta.
Potensi pendidikan swasta di Indonesia sedemikian besar, namun hal ini tidak
dikembangkan secara proporsional oleh pemerintah, bahkan ada kecenderungan
justru "diluluhkan". Berkaitan dengan ini Ki Supriyoko melansir
perlunya komitmen positif
dari pemerintah, sebagaimana yang dilakukan negara-negara maju,[11] untuk mengembangkan pendidikan swasta dan
berbagi tugas dengan pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional. Tanpa
komitmen positif yang konkrit terhadap pendidikan swasta, kinerja pendidikan
nasional akan semakin mengenaskan.
Namun, pemberian subsidi terhadap sekolah swasta
menghadapi banyak kendala. Memang akan amat mulia bila pemerintah dapat
melakukannya. Tetapi, bila dilihat keadaan nyata, akan disimpulkan bahwa
masalahnya tidak sederhana. Fenomena anggaran yang minim dan diskriminatif,
terus berlangsung dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang
amat terbatas sukar bagi pemerintah untuk menjalankan kewajibannya sendiri, apalagi
melakukan subsidi kepada pihak swasta. Itulah yang kini dijumpai di Indonesia.
Melihat kondisi demikian apakah pemerintah
mempunyai kemampuan memberi subsidi kepada pendidikan swasta tanpa melalaikan
kewajibannya menjalankan pendidikan secara baik? Barangkali lebih tepat bila
dalam kondisi demikian pemerintah memperbaiki keadaan pendidikannya (negeri).
Sedangkan pendidikan swasta yang pada dasarnya tidak tergantung pada
pemerintah, tetap akan menjalankan
kegiatan pendidikannya secara mandiri.
D. Penutup
Kondisi
pendidikan swasta dalam Sisdiknas layak dicermati dan diupayakan problem solvingnya. Subordinasi
pendidikan swasta, baik dalam hal subsidi maupun bantuan sarana dan prasarana
teknis perlu segera diakhiri, karena bagaimanapun juga pendidikan swasta telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pemerintah harus memiliki komitmen
positif bagi kesuksesan pelaksanaan pendidikan nasional. Karena
pendidikan adalah salah satu wujud utama tercapainya kemajuan suatu bangsa.
Komitmen positif ini bisa diwujudkan dengan kebijakan yang seimbang oleh
pemerintah antara yang swasta dan yang negeri.
Dari
komitmen positif itu, pendidikan nasional kita diharapkan mampu meningkatkan
mutu dan karakter bangsa, sehingga kemandirian bisa terwujud dan pada akhirnya
mampu memberikan kontribusi dalam persaingan global.
DAFTAR PUSTAKA
-
Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS dan Penjelasannya, Yogyakarta: Media Wacana, 2003.
-
Moekijat. Kamus Pendidikan dan Pelatihan, Bandung: Mandar Maju, 1993.
-
Poerbakawatja, Soegarda. Pendidkan
Dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1960.
-
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dar
Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
-
Mastuhu. Menata Ulang sistem Pendidkan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta:
SafiriaInsania Press, 2003.
-
Chamidi, Safrudin. "Kontribusi
Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia", dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No.
035. Tahun ke-8, Maret 2002.
-
Ki Supriyoko, Kesetaraan
Pendidikan Negeri dan Swasta, Makalah Politik Pendidikan Nasional, Yogya,
UIN Sunan Kalijaga, 2004.
[1] UU pasal 1 No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mwujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenndalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mlulia serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Penjelasannya, (Yogyakarta: Media
Wacana, 2003), hlm. 9.
[2] Menurut lampiran keputusan menteri P dan K/ Ketua Tim Koordinasi
Pembinaan Pendidikan dan Latihan No. 098/v/1976 tentang klebijakan umum bagi
pelaksanaan pembinaan pendidikan dan latihan, swasta didefinisikan sebagai
pribadi dan kelompok bukan pemerintah. Moekijat, Kamus Pendidikan dan Pelatihan (Bandung: Mandar Maju, 1993), hlm.
110.
[3] Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan
Dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1960), hlm. 206.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakrta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 246.
[5] Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan
Dalam…., hlm. 207.
[7] Mastuhu, Menata Ulang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003),
hlm. 32-33.
[8] Ki Supriyoko, Kesetaraan Pendidikan Negeri dan Swasta,
Makalah Politik Pendidikan Nasional, Yogya, UIN Sunan Kalijaga 2004.
[9] Untuk keterangan lebih lanjut baca: Safrudin Chamidi, “Kontribusi
Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 035. Tahun ke-8, Maret 2002.
[10] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang RUU SISDIKNAS Pasal (55) ayat (4).
[11] Australia misalnya; negara yang semula tidak terbuka bagi
pendidikan swasta kini mulai membuka diri terhadap sekolah dan PT swasta.
Taiwan secara konkrit memberikan komitmen, termasuk bantuan keuangan, kepada
sekolah swasta dalam kerangka pengembangan pendidikan nasionalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar