Selamat Datang

Kami ucapkan terimakasih telah berkunjung di blog ini, semoga bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi yang membacanya.

Kamis, 23 Oktober 2014



                                Posisi Pendidikan Swasta dalam Sisdiknas
Abd. Azis Tata Pangarsa


A.  Pendahuluan
Pendidikan, sebagai suatu kegiatan, proses, hasil, dan sebagai ilmu, pada dasarnya adalah usaha sadar yang dilakukan manusia sepanjang hayat guna memenuhi kebutuhan hidup. Pandangan ini, secara umum, telah menjadi istilah konvensional di masyarakat dan sarana manusia memperoleh pengetahuan secara berkesinambungan. Di Indonesia, istilah pendidikan ini tertuang dan dilegitimasi oleh pemerintah dalam UU Sisdiknas[1] (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional), sehingga menjadikannya mapan secara definitif, jelas dan terarah.
Pada dataran realita, pendidikan sering dimanifestasikan dalam tiga jalur, yaitu pendidikan formal, non-formal dan informal. Tiga bentuk jalur ini telah banyak mewarnai dan membimbing kehidupan manusia ke arah lebih baik. Selanjutnya, keberadaan pendidikan seperti itu telah "mengikat" dalam proses keberhasilan suatu bangsa dan negara. Khusus mengenai pendidikan dalam arti formal (baca: sekolah/ madrasah), kendati diakui banyak memberi kontribusi positif bagi pencerdasan kehidupan bangsa, ternyata keberadaannya mengandung permasalahan kompleks, baik dari segi pemikiran maupun implementasi. Permasalahan tersebut antara lain adalah adanya fenomena sekolah/ madrasah negeri dan swasta yang hadir dalam Sisdiknas. Dua lembaga pendidikan formal ini, selanjutnya, memunculkan "kecurigaan" pemikiran dan pandangan yang berbeda-beda. Sekolah negeri dan sekolah swasta, yang masing-masing dikelola oleh dua lembaga berbeda, pemerintah dan non-pemerintah (masyarakat atau yayasan) seakan menyodorkan "kecurigaan" tersebut. Dan yang menjadi akar ajang kecurigaan tersebut adalah satu, yaitu kebijakan pemerintah.
Disinyalir bahwa kebijakan pemerintah terhadap dua lembaga pendidikan formal di atas masih diskriminatif, sehingga "kecurigaan" terhadapnya perlu dijadikan problem transparan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada tidak mencerminkan keadilan, terutama masalah subsidi dan anggaran. Sekolah/ madrasah negeri  diprioritaskan, sementara sekolah/ madrasah swasta dinomor-duakan. Padahal apabila dikaji lebih jauh, lembaga pendidikan swasta telah membuktikan loyalitasnya pada ketentuan-ketentuan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dan harus diakui bahwa lembaga pendidikan swasta adalah bentuk pertama yang hadir dalam ranah pendidikan Indonesia. Ironis memang, tetapi itulah realitas. Dikotomisasi terhadap keduanya terus berjalan hingga kini.
Permasalahan posisi dua lembaga pendidikan di atas perlu mendapat porsi pembahasan yang utuh. Tetapi, karena pendidikan swasta yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini, maka pembahasannya pun hanya terbatas pada bagaimana keberadaan dan posisi pendidikan swasta dalam sistem pendidikan nasional. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada kondisi pendidikan swasta dan harapannya dalam konstelasi perpolitikan pendidikan nasional.

B.  Kondisi Pendidikan Swasta Dalam Sisdiknas
Perlu diketahui, maksud pendidikan swasta[2] disini adalah pendidikan sekolah/ madrasah yang diselenggarakan oleh organisasi swasta atau non-pemerintah. Dasar kehadirannya adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah dalam usahanya mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan swasta ikut berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat dan menyadarkannya akan kebutuhan pengetahuan, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas baik dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.[3]
Secara historis, kemunculan pendidikan swasta sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Format awal lembaga-lembaga pendidikan swasta pada waktu itu lebih bersifat keagamaan. Pesantren atau yang semisal dengannya (surau, kedah dan lainya) bisa dikatakan sebagai bentuk awal lembaga pedidikan swasta yang bersifat keagamaan, di mana mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam banyak memanfaatkan lembaga ini sebagai sentra pendidikan (agama). Walau mengambil bentuknya yang tidak formal, keberadaan pesantren ini sebagai lembaga pendidikan dianggap berhasil dalam menciptakan pribadi-pribadi yang sadar secara agama dan berhasil membentuk watak masyarakat Indonesia.
Pada masa pemerintahan penjajah Belanda, pendidikan yang bersifat formal mulai tercipta. Dalam hal ini, pemerintah Belanda mulai mendirikan lembaga pendidikan yang berbentuk sekolah-sekolah (negeri) untuk menunjukkan kontribusinya yang positif bagi kehidupan masyarakat jajahan. Pada awalnya pendidikan yang mereka ciptakan bersifat netral dengan tidak mencampuri urusan-urusan agama. Kebijakan netralitas ini kemudian memberi inspirasi pihak swasta (terutama lembaga keagamaan) untuk mendirikan sekolah-sekolah/ madrasah-madrasah menurut pola dan sistem pendidikan negeri. Dari sinilah timbul sekolah-sekolah swasta dari golongan Katolik dan Zending (penjajah) serta sekolah/ madrasah dari golongan Islam (pribumi).
Dari golongan Islam di antara sekolah/ madrasah yang muncul adalah sekolah/ madrasah pendidikan Muhammadiyah dan Ma'arif. Di lain pihak, juga muncul sekolah-sekolah yang tidak mendasarkan pada asas keagamaan, yaitu antara lain sekolah Kartini dan Taman Siswa. Sekolah-sekolah swasta ini, atas dasar kebijakan Jenderal Van Heutz seorang gubernur pemerintahan penjajah Belanda, kemudian mendapat subsidi dari pemerintah Belanda dengan syarat mematuhi peraturan dan tidak mengganggu ketertiban umum.[4] Sekolah-sekolah swasta (khususnya sekolah/ madrasah berasas Islam yang mendapat restu dari penjajah) pada masa ini mengalami transformasi dan bebas mengekspresikan diri untuk berkembang pada arah yang lebih maju.
Tetapi, pada masa penjajahan Jepang[5] keadaan seperti itu sempat terhenti, bahkan stagnan. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintahannya menghapus segala bentuk pendidikan yang berbau swasta, kecuali pendidikan kejuruan. Pendidikan swasta, seperti Taman Siswa sebagiannya "digusur" dan harus menyerahkan Taman Madyanya pada Jepang.
Itulah kondisi umum pendidikan swasta pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kondisi sekolah-sekolah/ madrasah-madrasah swasta berubah drastis. Keinginan untuk mengisi kemerdekaan dengan sadar pendidikan mulai digalakkan. Sekolah/ madrasah swasta yang sebelumnya hanya "setengah-setengah" dalam melaksanakan pendidikan mulai menampakkan identitasnya secara terang-terangan dan dengan idealitasnya ingin memberi kontribusi bagi kemajuan masyarakat Indonesia. Fenomena semacam ini, untuk sementara, menafikan dikotomisasi antara pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta dan oleh pemerintah.
Pada masa awal kemerdekaan (tahun 1946-1950), secara umum kondisi dan posisi pendidikan swasta dalam pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut laporan Panitia Penyelidik Pengajaran pada waktu itu (1946), pendidikan swasta diperlakukan secara wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa ada diskriminasi. Di antara isi laporan tersebut yang tidak diskriminatif adalah tentang adanya persamaan dalam hal ijazah, di mana ijazah negeri dan swasta tidak dibedakan. Juga, dibolehkannya murid-murid sekolah swasta untuk berpindah atau melanjutkan pelajarannya di sekolah negeri.[6]
Selanjutnya, dalam undang-undang no. 4 tahun 1950 pasal 14 tentang subsidi bagi sekolah swasta disebutkan bahwa sekolah swasta dapat menerima subsidi dari pemerintah untuk pembiayaan sekolah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Subsidi ini bisa diberikan seratus persen atau sekedarnya kepada semua jenis dan tingkat sekolah.
Perhatian pemerintah yang cukup besar pada pendidikan swasta sebagaimana disebutkan di atas, kemudian membawa pada kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi penyelenggara pendidikan swasta. Bahkan, ketika pemerintah pada waktu itu menginstruksikan untuk mendirikan sekolah swasta sebanyak-banyaknya dan pemerintah bertanggung jawab dalam hal subsidi dan bantuan lainnya seperti guru (sebagaimana tertuang dalam UU No. 4 tahun 1950), banyak masyarakat yang berlomba-lomba menciptakan lembaga pendidikan untuk bersaing dalam proses pembangunan Indonesia. Tetapi, kemunculan pendidikan swasta ini tidak sepenuhnya hanya demi mendapat subsidi dari pemerintah, karena banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang tidak tergantung, bahkan tidak mau menerima bantuan pemerintah tersebut.
Kondisi dan posisi pendidikan swasta di atas, pada tahun-tahun berikutnya mengalami perubahan yang bertolak belakang. Pada akhir tahun 80-an, lahirnya Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas dengan idealisasi "setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan" (UU No. 2 Tahun 1989 Pasal: 5,6,7,8 dan 47), ternyata secara realitas tidak terbukti. Adanya diskriminasi antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri adalah salah satu bukti ketidak-harmonisan antara idealitas UU dengan realitas yang ada itu. Dalam hal ini, Mastuhu[7] mengatakan bahwa masih terdapat ketidak-adilan, bahkan tidak demokratis antara keduanya. Dia mencontohkan dengan masih adanya pengelompokkan sekolah swasta secara kualitas dengan sekolah negeri, di mana sekolah swasta dikelompokkan menjadi Terdaftar, Diakui dan Disamakan dengan sekolah negeri. Begitu pula masalah pembiayaan dan masalah tata cara penerimaan siswa, praktek diskriminasi begitu mencolok. Dalam praktek penerimaan siswa atau mahasiswa, misalnya, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang bisa merasakan lembaga pendidikan negeri (terutama PTN), dan masih banyak contoh yang lainnya.
Senada dengan hal itu, lahirnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak jauh berbeda dengan kondisi masa UU sebelumnya. Pendidikan swasta secara eksplisit tidak tercantum dalam UU yang baru ini, sehingga keberadaanya dianggap misterius atau tidak jelas. Achlan Husein, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), melansir bahwa "dalam UU Sisdiknas hanya disebutkan adanya sekolah negeri milik pemerintah dan lembaga pendidikan dengan partisipasi masyarakat yang konteksnya tidak jelas". Dengan demikian keberadaan sekolah swasta tidak dihiraukan sama sekali dalam UU, meskipun secara eksplisit disebutkan dalam masalah peran masyarakat (lihat: pasal 54).
Lebih lanjut, hasil penelitian ADB (Asian Development Bank) dan UHK (The Univesity of Hongkong) tentang sistem pendidikan nasional kita, memperparah kondisi dan posisi riil pendidikan swasta. Penelitian ini membuktikan adanya diskriminasi bantuan dana antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri, terutama yang berupa dana penyelenggaraan (recurrent budgets) dan dana pengembangan (development budgets). Untuk SLTP, misalnya, siswa sekolah negeri yang siswanya mencapai 4.684.000 mendapat bantuan dana penyelenggaraan sebesar 1.760 milyar, sedangkan pada siswa sekolah swasta yang mencapai 2.262.000 mendapat bantuan dana penyelenggaraan 29 milyar, sehingga nominal yang didapat setiap siswa sekolah negeri adalah 376 ribu rupiah, sedang siswa sekolah swasta nominalnya hanya 21 ribu. Contoh ini jelas-jelas membuktikan terjadinya diskriminasi, sehingga tidak salah ketika kualitas dan kuantitas sekolah swasta pada umumnya di bawah sekolah negeri.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan secara diskriminatif, jauh dari yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan (Undang-undang No. 2 tahun 1989, pasal 5, 6, 7, 8 dan 47). Dalam kenyataannya, pelaksanaan sistem pendidikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola masyarakat berbeda dengan yang dikelola pemerintah (negeri). Sekolah swasta dikelompokkan menjadi tiga; terdaftar, diakui, dan disamakan dengan negeri.
Perlu diketahui bahwa masyarakat mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan dan penentuan kebijakan pemerintah di Indonesia. Secara umum sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali, walaupun belum optimal. Secara kuantitatif keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta jumlahnya sangat signifikan. Data berikut belum termasuk sekolah keagamaan, dari 150.147 SD, 10.306 atau 7 % diantaranya merupakan SD swasta. Dari 20.866 SLTP, ternyata 11.371-nya atau 50% diantaranya merupakan SLTP swasta. Dan dari 15.647 SLTA,  ada 11.435 atau 73% adalah SLTA swasta. Untuk tingkat perguruan tinggi dari 1.633 PT, ada 1.557 atau 95% diantaranya merupakan PT swasta.
Sementara itu untuk data sekolah keagamaan (madrasah) sebagai berikut: dari 21.454 MI, 20.000 atau 95% diantaranya merupakan MI swasta. Dari 9.850 MTs, 8.672 atau 88% diantaranya MTs swasta. Dan dari 3.578 MA, 2.977 lembaga atau 83% diantaranya merupakan MA swasta. Untuk PTAI dari 298, 251 lembaga atau 84% diantaranya adalah PTAI swasta.[8]
Kenyataan di atas, sebenarnya bisa diperbaiki dengan syarat demokratisasi dan harmonisasi antara pendidikan swasta dengan pendidikan negeri dijadikan landasan utama dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai penguasa dengan bermitrakan masyarakat dan komponen-komponen lainnya diharapkan mampu untuk mewujudkannya.
Memang apabila dilihat secara kuantitatif, keberadaan pendidikan swasta dalam Sisdiknas telah memberi kontribusi yang sangat bervariasi. Penelitian-penelitian yang banyak dilakukan orang ataupun lembaga yang kompeten terhadap masalah pendidikan menyebutkan bahwa lembaga pendidikan swasta (sekolah/ madrasah) mendominasi secara kuantitas baik itu mulai pra sekolah, dasar, menengah dan PT.[9] Tetapi, pemberdayaan kuantitas ini kurang didukung oleh pemerintah sebagai pembina dan pencetus sistem pendidikan, bahkan sepertinya pemerintah tidak mau tahu urusan ini (dalam kenyataannya urusan mereka hanya pada lembaga pendidikan negeri), sehingga kualitas keberadaan lembaga pendidikan swasta cenderung menurun dan selalu berada di bawah lembaga pendidikan negeri yang di"anak emas"kan. Kondisi semacam ini masih berlangsung hingga sekarang.

C. Harapan dalam Konstelasi Perpolitikan Pendidikan.
Kondisi pendidikan swasta dalam Sisdiknas, yang telah diuraikan sebelumnya, terpuruk dalam dua poros; pertama, eksistensinya yang, secara yuridis-formal "tak jelas", kedua, pendidikan swasta di"nomor dua"kan dalam memperoleh subsidi maupun bantuan teknis dari pemerintah, kendati tercantum jelas bahwa pendidikan berbasis masyarakat (baca: swasta) dapat memperoleh bantuan dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah secara adil dan merata.[10] Padahal, kendati secara kualitatif belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia, secara umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas sekolah swasta.   
Lebih jauh Achlan Husein mengatakan, kontribusi lembaga pendidikan swasta untuk membangun dan memberdayakan SDM sudah amat jelas hingga harus diakui oleh pemerintah. "Pemerintah tak bisa lagi membeda-bedakan antara lembaga pendidikan negeri dengan swasta sehingga seharusnya bantuan dari pemerintah juga disalurkan pula ke sekolah swasta. Harus ada keseimbangan perlakuan sekolah negeri dengan sekolah swasta.
Pemerintah didesak untuk mengubah kebijakan diskriminatif dalam bidang pendidikan yang lebih mementingkan keberadaan sekolah-sekolah negeri dan cenderung mengabaikan keberadaan sekolah swasta. Kebijakan yang diskriminatif itu menjadi pemborosan investasi dalam bidang pendidikan. Anggaran pemerintah dalam pendidikan sepantasnya bila dialokasikan pula untuk mensubsidi sekolah-sekolah swasta yang bermutu agar tetap eksis meski jumlah muridnya kecil.
Pendidikan swasta, punya hak mendapatkan alokasi anggaran pendidikan baik dari pemerintah pusat atau daerah. Keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan justru meringankan beban pendidikan negara. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah menghidupkan kembali subsidi kepada sekolah-sekolah swasta bermutu seperti pernah diterapkan pada 1950-an. Dengan cara itu sekolah swasta bisa mempertahankan mutu.
Selama ini pemerintah selalu berdalih keuangan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sekolah negeri pun tidak cukup. Padahal pemerintah adalah pemerintahan milik seluruh rakyat sehingga anggaran pemerintah harus dipakai untuk semua orang. Apalagi UU Pendidikan Nasional tidak lagi membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Karena itu, dari segi tanggung jawab mestinya sama-sama. Untuk mendukung perguruan swasta, pemerintah bisa memulainya dengan memberikan berbagai kemudahan kepada swasta, mulai dari membebaskan swasta dari biaya Izin Mendirikan Bangunan, Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan hal-hal sederhana lainnya.
Jika pemerintah dianggap telah gagal menjalankan kebijakan pendidikan sehingga pendidikan Nasional Indonesia termasuk yang paling jelek di dunia, maka pernyataan itu ada benarnya; dan salah satu kunci kegagalannya terletak pada adanya ketidakadilan terhadap pendidikan swasta. Potensi pendidikan swasta di Indonesia sedemikian besar, namun hal ini tidak dikembangkan secara proporsional oleh pemerintah, bahkan ada kecenderungan justru "diluluhkan". Berkaitan dengan ini Ki Supriyoko melansir perlunya komitmen positif dari pemerintah, sebagaimana yang dilakukan negara-negara maju,[11] untuk mengembangkan pendidikan swasta dan berbagi tugas dengan pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional. Tanpa komitmen positif yang konkrit terhadap pendidikan swasta, kinerja pendidikan nasional akan semakin mengenaskan.
Namun, pemberian subsidi terhadap sekolah swasta menghadapi banyak kendala. Memang akan amat mulia bila pemerintah dapat melakukannya. Tetapi, bila dilihat keadaan nyata, akan disimpulkan bahwa masalahnya tidak sederhana. Fenomena anggaran yang minim dan diskriminatif, terus berlangsung dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang amat terbatas sukar bagi pemerintah untuk menjalankan kewajibannya sendiri, apalagi melakukan subsidi kepada pihak swasta. Itulah yang kini dijumpai di Indonesia.
Melihat kondisi demikian apakah pemerintah mempunyai kemampuan memberi subsidi kepada pendidikan swasta tanpa melalaikan kewajibannya menjalankan pendidikan secara baik? Barangkali lebih tepat bila dalam kondisi demikian pemerintah memperbaiki keadaan pendidikannya (negeri). Sedangkan pendidikan swasta yang pada dasarnya tidak tergantung pada pemerintah, tetap akan  menjalankan kegiatan pendidikannya secara mandiri.

D. Penutup
Kondisi pendidikan swasta dalam Sisdiknas layak dicermati dan diupayakan problem solvingnya. Subordinasi pendidikan swasta, baik dalam hal subsidi maupun bantuan sarana dan prasarana teknis perlu segera diakhiri, karena bagaimanapun juga pendidikan swasta telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah harus memiliki komitmen positif bagi kesuksesan pelaksanaan pendidikan nasional. Karena pendidikan adalah salah satu wujud utama tercapainya kemajuan suatu bangsa. Komitmen positif ini bisa diwujudkan dengan kebijakan yang seimbang oleh pemerintah antara yang swasta dan yang negeri.
Dari komitmen positif itu, pendidikan nasional kita diharapkan mampu meningkatkan mutu dan karakter bangsa, sehingga kemandirian bisa terwujud dan pada akhirnya mampu memberikan kontribusi dalam persaingan global.

















DAFTAR PUSTAKA
-          Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Penjelasannya, Yogyakarta: Media Wacana, 2003.
-          Moekijat. Kamus Pendidikan dan Pelatihan, Bandung: Mandar Maju, 1993.
-          Poerbakawatja, Soegarda.  Pendidkan Dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1960.
-          Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dar Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
-          Mastuhu. Menata Ulang sistem Pendidkan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: SafiriaInsania Press, 2003.
-          Chamidi, Safrudin. "Kontribusi Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia", dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 035. Tahun ke-8, Maret 2002.
-          Ki Supriyoko, Kesetaraan Pendidikan Negeri dan Swasta, Makalah Politik Pendidikan Nasional, Yogya, UIN Sunan Kalijaga, 2004.



[1] UU pasal 1 No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mwujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenndalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mlulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Penjelasannya, (Yogyakarta: Media Wacana, 2003), hlm. 9.
[2] Menurut lampiran keputusan menteri P dan K/ Ketua Tim Koordinasi Pembinaan Pendidikan dan Latihan No. 098/v/1976 tentang klebijakan umum bagi pelaksanaan pembinaan pendidikan dan latihan, swasta didefinisikan sebagai pribadi dan kelompok bukan pemerintah. Moekijat, Kamus Pendidikan dan Pelatihan (Bandung: Mandar Maju, 1993), hlm. 110.

[3] Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1960), hlm. 206.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakrta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 246.  
[5] Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan Dalam…., hlm. 207.

[6] Ibid., hlm. 208.

[7] Mastuhu, Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), hlm. 32-33.
[8] Ki Supriyoko, Kesetaraan Pendidikan Negeri dan Swasta, Makalah Politik Pendidikan Nasional, Yogya, UIN Sunan Kalijaga 2004.
[9] Untuk keterangan lebih lanjut baca: Safrudin Chamidi, “Kontribusi Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 035. Tahun ke-8, Maret 2002.

[10] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang RUU SISDIKNAS Pasal (55) ayat (4).

[11] Australia misalnya; negara yang semula tidak terbuka bagi pendidikan swasta kini mulai membuka diri terhadap sekolah dan PT swasta. Taiwan secara konkrit memberikan komitmen, termasuk bantuan keuangan, kepada sekolah swasta dalam kerangka pengembangan pendidikan nasionalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman