Snouck Hurgronje Arsitek Politik Islam Hindia Belanda
Siapa Snouck Hurgronje ?
Prof.
Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ini merupakan tokoh yang sangat
kontroversial. Disanjung dipuja sebagai sarjana Islam yang cemerlang,
tetapi juga dicaci maki sebagai seorang ahli muslihat yang hendak
menghancurkan Islam dari dalam dengan pura-pura masuk Islam. Betapapun
diakui oleh semua pihak bahwa pemerintah Belanda baru mempunyai garis
kebijaksanaan tentang Islam didaerah jajahannya yang bernama Hindia
Belanda (Indonesia) setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat
pemerintah dalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Prof.
Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ini merupakan tokoh yang sangat
kontroversial. Disanjung dipuja sebagai sarjana Islam yang cemerlang,
tetapi juga dicaci maki sebagai seorang ahli muslihat yang hendak
menghancurkan Islam dari dalam dengan pura-pura masuk Islam. Betapapun
diakui oleh semua pihak bahwa pemerintah Belanda baru mempunyai garis
kebijaksanaan tentang Islam didaerah jajahannya yang bernama Hindia
Belanda (Indonesia) setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat
pemerintah dalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje , lahir pada 8
Februari 1857, di Oosterhout, dari pasangan pendeta J.J. Snouck
Hurgronje dan Anna Maria de Visser. Christiaan adalah nama kakeknya
sehingga namanya adalah gabungan nama kakeknya dan bapaknya. Ia
mengawali pendidikan dasar (lagere school) di tempat kelahirannya,
Oosterhout. Kemudian ia melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di
Breda. Setelah selesai di HBS, ia melanjutkan ke Universitas Leiden, dan
menyelesaikan Sarjana Muda bidang teologi pada tahun 1878.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda dibidang teologi, Snouck Hurgronje mengalihkan studinya ke ilmu Sastera Samiyah dengan spesialisasi bahasa Arab dan Islam. Ia mengakhiri studinya dalam bidang itu pada tanggal 24 November 1880 dengan yudicium cum laude dan menjadi Doktor dalam bidang ilmu tersebut berdasarkan sebuah disertasi yang berjudul Het Mekkaansche feest.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda dibidang teologi, Snouck Hurgronje mengalihkan studinya ke ilmu Sastera Samiyah dengan spesialisasi bahasa Arab dan Islam. Ia mengakhiri studinya dalam bidang itu pada tanggal 24 November 1880 dengan yudicium cum laude dan menjadi Doktor dalam bidang ilmu tersebut berdasarkan sebuah disertasi yang berjudul Het Mekkaansche feest.
Di sini, ada satu hal yang menarik untuk
dicermati, yaitu pengalihan bidang studi Snouck Hurgronje dari ilmu
teologi ke ilmu Sastera Samiyah. Peralihan ini menunjukkan adanya
perkembangan pemikiran pada diri Snouck Hurgronje. Namun, perkembangan
itu bukan disebabkan oleh perpecahannya dengan kekristenan, melainkan
agaknya disebabkan oleh perkembangan teologi Kristen pada Universitas
Leiden ketika itu. Perkembangan inilah yang menentukan
gagasan-gagasannya tentang Islam dan politik kolonial Belanda di
kemudian hari.
Misi politik Islam Snouck Hurgronje
diawali pada tahun 1884, ketika ia pergi ke Mekkah untuk memperoleh
pengetahuan praktis Bahasa Arab dan mempelajari kehidupan Islam di kota
pusatnya. Di pusat kota Muslim ini, ia meneliti pengaruh Mekkah terhadap
dunia Islam lainnya, terutama Hindia Belanda. Dalam salah satu suratnya
kepada Th. Noldeke (1-8-1885), ia menyatakan tujuan utamanya pergi ke
Mekkah adalah menelaah kehidupan Islam dengan mengamati cara berpikir,
cara berbuat, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan
Muslimin.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan
dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji
Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai
bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan
informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan
ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai
nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck
yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di
hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui keIslaman
Anda”. “Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam
dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang
mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi cerita yang lebih dapat diterima
mestinya Aboebakar Djajadiningratlah–paman Pangeran Ahmad Djajadiningrat
dan Prof Dr Hoesein Djajadiningrat–yang mengislamkannya atau yang
mengatur pengislamannya.
Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat
bekerja di Kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Dialah yang banyak
memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga Snouck Hurgronje berhasil
menulis bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid yang dipuji banyak
orang–dan Snouck samasekali tidak menyebut Aboebakar Djajadiningrat
sebagai sumbernya.
Mestinya Snouck lebih dahulu berkenalan
dengan Aboebakar Djajadiningrat daripada dengan H Hasan Mustapa yang
ditemuinya di Jeddah daripada H Hasan Mustapa yang mungkin baru
ditemuinya ketika dia ke Mekkah–beberapa lama setelah tinggal di Jeddah.
Dr. P. Sj. Van Koningsveld dalam bukunya
Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Jakarta, 1989)
menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua
orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar
Djajadiningrat (1989: 95-107).
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan
dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul
Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi
Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan
pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena
tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai
saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat
hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di
negeri Hijaz saat itu.
Snouck kemudian menjabat sebagai
penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk urusan Islam dari 1889
hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan reputasinya sebagai
sarjana teologi, Snouck ditemani oleh sahabat Sunda-nya dari Mekah, Haji
Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling dan meninjau
pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil
memperoleh kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.
Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar
dengan perantaraan Haji Hasan Moestapha menikah dengan dua putri ulama
terkenal. Jika dia tidak diakui sebagai seorang Muslim, mustahil
diizinkan menikah dengan gadis Sunda. Dia memenuhi segala persyaratan
dari Islam. “Dia telah disunat (besneden), melakukan salat, berpuasa di
bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta minuman yang terlarang”
Snouck mempunyai dua istri orang Sunda.
Yang pertama, bernama Sangkana, anak tunggal Penghulu Besar Ciamis.
Raden Haji Muhammad Ta’ib, dan dari pernikahan ini lahir empat anak
yaitu Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Oemar. Yang kedua setelah
Sangkana meninggal adalah Siti Sadijah, putri penghulu Bandung Haji
Muhammad Soe’eb yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, Snouck berusia 41
tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan berlangsung tahun 1898.
Dari pernikahan dengan Siti Sadiyah melahirkan seorang anak bernama
Joesoef.
Van Koningsveld juga memberikan
petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan ketidaktulusan Snouck Hurgronje
masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk melancarkan tugasnya atau
tujuannya yang hendak mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia, jadi
bersifat politik–bukan ilmiah murni.
Tentu saja ketidaktulusan Snouck dalam
memeluk agama Islam itu tidak diberitahukan dan tidak diketahui oleh
kawan-kawannya orang Islam, termasuk H Hasan Mustapa. Dalam naskah yang
ditulis H Hasan Mustapa berjudul Istilah terdapat bagian yang melukiskan
hubungannya dengan guru-gurunya baik di Mekah maupun di Tanah Air, dan
juga dengan beberapa orang pejabat Belanda yang dikenalnya, seperti K F
Holle, Branders, van Ronkel, dan terutama tentang Snouck Hurgronje.
Dia mengatakan bahwa Snouck adalah “dulur
kaula”, tur “sili bélaan salawasna keur deukeut keur jauh,”
(”saudaraku” serta “selamanya saling jaga dan saling bela baik waktu
berdekatan maupun waktu berjauhan”) (H Hasan Mustapa jeung
karya-karyana, oleh Ajip Rosidi, Pustaka, Bandung, 1989: 56).
H Hasan Mustapa menjadi Penghulu Besar (Hoofdpenghoeloe)
di Kotaraja (Banda Aceh) atas desakan Snouck Hurgronje kepada Gubernur
Militer dan Sipil Acéh, Jenderal Deykerhoff. Menurut Snouck dalam
suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1896,
tidaklah mudah dia membujuk H Hasan Mustapa supaya mau menduduki jabatan
di lingkungan pemerintahan. Dari H Hasan Mustapa lah Snouck mengetahui
dan mengikuti perkembangan Aceh dengan seksama meskipun Snouck berada
di Batavia melalui laporan-laporan yang dikirim oleh Hasan Mustapa.
Dalam meneliti Islam, menurut G.W.J. Drewes, ada tiga hal masalah penting yang menarik perhatian Snouck Hurgronje :
- Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
– Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
– Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.
- Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
– Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
– Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.
Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam di Indonesia
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah
kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam
munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh
umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya-
menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta
masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan
“Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau
kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak
berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam
agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam
terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan
Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga
kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan
sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang
fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya
pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama
itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta
bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya,
baik dalam segi sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan
mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang
Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian
kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan
ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia
berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan
politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur
pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan
kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan
mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik
haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa
rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan
dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh
ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan,
kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud
baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang
kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah,
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial
memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah
memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta
memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan,
pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan
membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut
yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada
budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran
Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan
mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”.
Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan
kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan
sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta
diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi
hukum adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan
memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam
kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah
diajak kerjasama karena ke- Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan
“kekafiran” pemerintahkolonial Belanda.
Kelompok ini dengan didukung oleh konsep
“Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan
dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit
“Wearwenization”. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang
diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang
diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan
menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan
sosial.
Kaum pribumi yang telah mendapat
pendidikan bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan kebudayaan
Eropa, harus diberi kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan
administrasi setempa. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan
kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan
amanat politik asosiasi.
Secara tidak langsung, asisiasi ini juga
bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang
telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi. Hal itu
dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan
Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori
oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk
mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah kolonial harus menjaga agar
proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan evolusi
sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai
hegemoni pengaruh dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang
program peng-asosiasi-an budaya ini.
Secara berangsur-angsur pejabat Eropa
dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli
waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya
Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan
kebudayaan Eropa.
Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya
dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga tak
seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama
itu telah mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh
umat Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak
gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke
negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab
pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon
Zending di Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936,
diusianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah
ilmuwan yang dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan
Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam,
Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan
“kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di
Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk
mengenang jasa-jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje,
tokoh penting peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” merupakan
“Pembaratan Islam Pribumi” kini diteruskan oleh para pewarisnya di
Indonesia yang dikenal sebagai cendekiawan Islam Liberal Indonesia.
Sumber buku : Strategi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi C. Snouck Hurgronje, Lathiful Khuluq, Pustaka Pelajar, 2002.
Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi Hal. 196-199 (Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus 2003)
Sumber lain :
– indrayogi.blog.friendster.com
– indrayogi.multiply.com
– http://ajip-rosidi.com/esai-bahasa-indonesia/snouck-hurgronje-dan-h-hasan-mustapa
– http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=10681
Tidak ada komentar:
Posting Komentar