Selamat Datang

Kami ucapkan terimakasih telah berkunjung di blog ini, semoga bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi yang membacanya.

Sabtu, 14 Desember 2013

PENGEMBANGAN SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU DI MI MIFTAHUL HUDA WAJAK



PENGEMBANGAN SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU DI MI MIFTAHUL HUDA WAJAK
(Oleh: Abd. Azis Tata Pangarsa, M.Pd)



A.    Pendahuluan
Salah satu komponen yang memegang peran strategis dalam penyelenggaraan pendidikan adalah guru, karena guru merupakan unsur manusiawi yang langsung berinteraksi dengan siswa dalam proses pembelajaran. Setiap ada inovasi pendidikan, khususnya kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru (Syah, 1995).
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas profesi, guru harus dapat mengelola proses pembelajaran yang aktif, kreatif    dan menyenangkan. Untuk itu disamping harus menguasai  bahan,  guru  juga  harus menguasai keterampilan dasar mengajar sehingga  dapat  menjalankan  perannya secara optimal. Seperti dikemukakan Underwood (1987) bahwa penguasaan keterampilan   dasar   mengajar   yang   baik akan  sangat  mempengaruhi perilaku siswa dalam  belajar.  Keterampilan  dasar mengajar adalah suatu perbuatan yang kompleks, dalam arti penggunaan secara integratif sejumlah komponen yang terkandung   dalam   perbuatan   mengajar untuk menyampaikan pesan pengajaran.
Beberapa kenyataan di lapangan menunjukkan, ada guru-guru yang mengalami  kesulitan  dalam menerapkannya, hal ini terjadi karena tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan dapat terlatih dengan baik. Mengenai kondisi guru Dedi Supriadi (dalam Jalal dan Supriadi, 2001) menjelaskan  dari  berbagai  penelitian tentang guru diketahui bahwa tingkat penguasaan bahan ajar dan keterampilan dalam   menggunakan   metode   mengajar yang inovatif masih kurang. Kondisi ini mendasari perlunya guru memperoleh bantuan dan bimbingan dari kepala sekolah (supervisor) berupa kegiatan supervisi.
Supervisi mempunyai  makna yang sangat penting dalam meningkatkan dan mengembangkan kegiatan pembelajaran. Meskipun  demikian,  seringkali  guru kurang menyukai kegiatan supervisi, guru merasa takut, resah, cemas dan ingin menghindar dari kegiatan supervisi. Keengganan  terhadap supervisi umumnya bersumber dari perilaku supervisi yang dilakukan kepala sekolah.

Kepala sekolah selaku supervisor hendaknya  dapat  memilih  dan menggunakan model supervisi yang sesuai dengan kebutuhan guru, bagi guru yang keterampilan dasar mengajarnya sangat lemah  dapat  dibantu  dengan  teknik supervisi klinis. Tanner and Tanner (1987) berpendapat bahwa supervisi klinis ditujukan pada peningkatan kualitas pendidikan dan diyakini sebagai sebuah pilihan terbaik dari metode supervisi. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan  penelitian  tentang pengembangan supervisi klinis untuk meningkatkan keterampilan dasar mengajar guru.

B.     Supervisi Klinis
1.    Pengertian Supervisi Klinis
Supervisi klinis mulai dikembangkan pada akhir dasa warsa lima puluhan   dan   awal   enam   puluhan   oleh Morris L. Cogan, Robert Goldhammer, dan Richard Weller di Harvard School of Education. Model supervisi klinis lebih menekankan pada hubungan tatap muka antara  supervisor  dengan  guru  serta terpusat  pada  perilaku aktual guru dalam mengajar. Acheson dan Gall ( 1980 ) memberikan istilah supervisi klinis sebagai Teacher Centered Supervision.
Richard  Waller  (dalam  Purwanto,  2002) menyatakan :
Clinical supervision may be defined as supervision focused upon the improvement as instruction by means of systematic cycles of planning, observation and intensive intellectual analysis of actual teaching performance in the interest of rational modification.

Sedang K.A.  Acheson  dan  M.D. Gall (1980) mendefinisikan supervisi klinis sebagai proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Definisi ini memberi indikasi bahwa supervisi klinis merupakan suatu proses membantu guru mengatasi  kesulitannya  dalam  mengajar. Hal ini senada dengan pendapat Olivia (1993) bahwa supervisi klinis bukan untuk tujuan administrasi, tetapi lebih ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mengajar guru  sehingga  memberi  efek  yang  jauh lebih baik.
Secara umum supervisi klinis diartikan sebagai bentuk bimbingan profesional yang diberikan kepada guru berdasarkan kebutuhannnya melalui siklus yang sistematis. Siklus sistematis ini   meliputi: perencanaan, observasi yang cermat atas pelaksanaan dan pengkajian hasil observasi dengan segera dan obyektif tentang penampilan mengajarnya yang nyata.
Jika dikaji berdasarkan istilah dalam “klinis”, mengandung makna: (1) Pengobatan (klinis) dan (2) Siklus, yaitu serangkaian kegiatan yang merupakan daur ulang. Oleh karena itu makna yang terkandung dalam istilah klinis merujuk pada unsur-unsur khusus, sebagai berikut:
a)      Adanya hubungan tatap muka antara pengawas dan guru didalam proses supervisi.
b)      Terfokus pada tingkah laku yang sebenarnya didalam kelas.
c)      Adanya observasi secara cermat.
d)     Deskripsi pada observasi secara rinci.
e)      Pengawas dan guru bersama-sama menilai penampilan guru.
f)       Fokus observasi sesuai dengan permintaan kebutuhan guru.
2.   Karakteristik Supervisi Klinis
Merujuk pada pengertian yang telah dipaparkan, terdapat beberapa karakteristik supervisi klinis, yaitu:
a)      Perbaikan dalam mengajar mengharuskan guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan keterampilan tersebut.
b)      Fungsi utama supervisor adalah mengajar keterampilan-keterampilan kepada guru.
c)      Fokus supervisi klinis adalah:
1)       Perbaikan cara mengajar dan bukan mengubah kepribadian guru.
2)       Dalam perencanaan pengajaran dan analisisnya merupakan pegangan supervisor dalam memperkirakan perilaku mengajar guru.
3)       Pada sejumlah keterampilan mengajar yang mempunyai arti penting bagi pendidikan dan berada dalam jangkauan guru.
4)       Pada analisis yang konstruktif dan memberi penguatan (reinforcement) pada pola-pola atau tingkah laku yang berhasil daripada “mencela” dan “menghukum” pola-pola tingkah laku yang belum sukses.
5)       Didasarkan pada bukti pengamatan dan bukan atas keputusan penilaian yang tidak didukung oleh bukti nyata.
d)     Siklus dalam merencanakan, mengajar dan menganalisis merupakn suatu komunitas dan dibangun atas dasar pengalaman masa lampau.
e)      Supervisi klinis merupakan suatu proses memberi dan menerima informasi yang dinamis dimana supervisor dan guru merupakan teman sejawat didalam mencari pengertian bersama mengenai proses pendidikan.
f)       Proses supervisi klinis terutama berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya pelajaran.
g)      Setiap guru mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk mengemukakan pokok-pokok persoalan, menganalisis cara mengajarnya sendiri dan mengembangkan gaya mengajarnya.
h)      Supervisor mempunyai kebebasan dan tanggung jawab untuk menganalisis dan mengevaluasi cara supervisi yang dilakukannya dengan cara yang sama seperti ketika ia menganalisis dan mengevaluasi cara mengajar guru.
Secara skematik, perbedaan antara supervisi kelas dengan supervisi klinis sebagai berikut (La Sulo, 1988 : 9):
No.
Aspek
Supervisi Kelas
Supervisi Klinis
1.
Prakarsa dan Tanggung Jawab
Terutama oleh supervisor
Diutamakan oleh guru
2.
Hubungan Supervisor-Guru
Realisasi guru-siswa/atasan-bawahan
Realisasi kolegial yang sederajat dan interaktif
3.
Sifat Supervisi
Cenderung direktif atau otokratif
Bantuan yang demokratis
4.
Sasaran Supervisi
Samar-samar atau sesuai  keinginan supervisor
Diajukan oleh guru sesuai kebutuhannya, dikaji bersama menjadi kontrak
5.
Ruang Lingkup  
Umum dan luas
Terbatas sesuai kontrak
6.
Tujuan Supervisi
Cenderung evaluatif
Bimbingan yang analitik dan deskriptif
7.
Peran Supervisor dalam Pertemuan
Banyak memberi tahu dan mengarahkan
Bertanya untuk analisis diri
8.
Balikan
Samar-samar atau atas kesimpulan supervisor
Dengan analisis dan interpretasi bersama atas data observasi sesuai kontrak

3.    Tujuan Supervisi Klinis
Sergiovanni dan Starrat (1993) mengemukakan tujuan supervisi klinis adalah untuk memperbaiki pengajaran guru di kelas dan meningkatkan performance guru. Searah dengan pendapat tersebut Acheson   dan   Gall   (1980)   menyatakan tujuan  supervisi  klinis  adalah meningkatkan pengajaran guru di kelas. Pada intinya dapat disimpulkan bahwa tujuan supervisi klinis adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan perilaku mengajar guru, terutama yang lemah dalammengajar agar dapat melaksanakan tugas secara profesional.

a)      Tujuan umum
Secara umum Supervisi klinis bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan mengajar guru di kelas. Hubungan ini supervisi klinis merupakan kunci untuk meningkatkan kemampuan professional guru.
b)      Tujuan khusus
Secara khusus Supervisi klinis bertujuan untuk:
1)      Menyediakan suatu balikan yang objektif dalam kegiatan mengajar yang dilakukan guru dengan berfokus terhadap:
(a)    Kesadaran dan kepercayaan diri dalam mengajar.
(b)   Keterampilan-keterampilan dasar mengajar yang diperlukan.
2)    Mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah pembelajaran.
3)    Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam menggunakan strategi- strategi pembelajaran.
4)    Membantu guru mengembangkan diri secara terus menerus dalam karir dan profesi mereka secara mandiri.
4.    Prinsip-prinsip Supervisi Klinis
Acheson dan Gall (dalam Maisyaroh, 1999) mengemukakan tiga prinsip umum pelaksanaan supervisi klinis yang bertumpu pada psikologi humanistik, yakni : interaktif, demokratik dan terpusat pada guru. Prinsip interaktif mensyaratkan adanya hubungan timbal balik yang dekat, saling memberi dan menerima, memahami dan saling mengerti antara guru dan supervisor.  Prinsip  demokratik menekankan   adanya   keterbukaan   antara guru dan supervisor untuk mengemukakan pendapat, tidak mendominasi pembicaraan, bersama-sama  mendiskusikan  dan mengkaji  semua  pendapat  dalam pertemuan, dan pada akhirnya keputusan ditetapkan berdasar kesepakatan bersama. Prinsip terpusat pada guru, artinya proses bantuan harus didasarkan pada kebutuhan dan aspirasi guru serta tetap berada dalam lingkup perilaku guru dalam mengajar secara aktual.
Dari beberapa prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip supervisi klinis meliputi  :  (1)  dilaksanakan  dalam hubungan yang demokratik, interaktif, dan harmonis; (2) terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru untuk memperbaiki kelemahannya dalam mengajar; (3) observasi dan analisis umpan balik didasarkan  pada kesepakatan  yang  dibuat sebelumnya.
Berkaitan dengan proses supervisi klinis, Sahertian (2000) dan Nurtain (1989) menawarkan tiga langkah yaitu : (1) pertemuan awal, (2) observasi, dan pertemuan akhir. Senada dengan dua pendapat di atas, Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (dalam Bafadal, 2003) mengemukakan lima kegiatan dalam proses supervisi klinis yakni : (1) pertemuan sebelum   observasi,   (2)   observasi,   (3) analisis dan strategi, (4) pertemuan supervisi,  dan  (5)  analisis  sesudah pertemuan supervisi.
Supervisi klinis memiliki ciri khas yang membedakan dengan teknik supervisi yang lain, ciri khas itu antara lain : diawali dengan  adanya  kesepakatan  mengenai aspek perilaku mengajar yang akan diperbaiki, hipotesis beserta instrument observasinya, perbaikan dilakukan secara satu per satu berdasar prioritas yang disepakati, ada pemberian penguatan dan kerjasama yang saling bertanggung jawab.
Prinsip-prinsip supervisi klinis diatas membawa implikasi bagi kedua belah pihak (supervisor dan guru).
a)      Implikasi bagi supervisor antara lain:
1)      Memiliki keyakinan akan kemampuan guru untuk mengembangkan dirinya serta memecahkan masalah yang dihadapinya.
2)      Memiliki sikap terbuka dan tanggap terhadap setiap pendapat guru.
3)      Mau dan mampu memperlakukan guru sebagai kolega yang memerlukan bantuannya.
b)      Implikasi bagi guru antara lain:
1)      Perubahan sikap dari guru sebagai seseorang yang mampu mengambil prakarsa untuk menganalisis dan mengembangkan dirinya.
2)      Bersikap terbuka dan obyektif dalam menganalisis dirinya.

5.    Prosedur Supervisi Klinis
 Prosedur supervisi klinis berlangsung dalam suatu proses berbentuk siklus, terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap pertemuan pendahuluan, tahap pengamatan dan tahap pertemuan balikan. Dua dari tiga tahap tersebut memerlukan pertemuan antara guru dan supervisor, yaitu pertemuan pendahuluan dan pertemuan lanjutan.
a)      Tahap Pertemuan Pendahuluan
Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana tentang materi observasi yang akan dilaksanakan. Tahap ini memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi perhatian utama guru, kemudian menterjemahkannya kedalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati. Pada tahap ini dibicarakan dan ditentukan pula jenis data mengajar yang akan diobservasi dan dicatat selama pelajaran berlangsung. Suatu komunikasi yang efektif dan terbuka diperlukan dalam tahap ini guna mengikat supervisor dan guru sebagai mitra didalam suasana kerja sama yang harmonis.
Secara teknis diperlukan lima langkah utama bagi terlaksananya pertemuan pendahuluan dengan baik, yaitu:
1)      Menciptakan suasana intim antara supervisor dengan guru sebelum langkah-langkah selanjutnya dibicarakan. 
2)      Mengkaji ulang rencana pelajaran serta tujuan pelajaran. 
3)      Mengkaji ulang komponen keterampilan yang akan dilatihkan dan diamati. 
4)      Memilih atau mengembangkan suatu instrumen observasi yang akan dipakai untuk merekam tingkah laku guru yang akan menjadi perhatian utamanya. 
5)      Instrumen observasi yang dipilih atau yang dikembangkan dibicarakan bersama antara guru dan supervisor.
b)     Tahap Pengamatan/Observasi Mengajar
Pada tahap ini guru melatih tingkah laku mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang telah disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Di pihak lain supervisor mengamati dan mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa.
Kunjungan dan observasi yang dilaksanakan supervisor bermanfaat untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran sebenarnya. Manfaat observasi tersebut antara lain dapat:
1)       Menemukan kelebihan atau kekurangan guru dalam melaksanakan pembelajaran guna pengembangan dan pembinaan lebih lanjut;
2)       Mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam melaksanakan suatu gagasan pembaharuan pengajaran;
3)       Secara langsung mengetahui keperluan dan kebutuhan masing-masing guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar;
4)       Memperoleh data atau informasi yang dapat digunakan dalam penyusunan program pembinaan profesinal secara terinci;
5)       Menumbuhkan kepercayaan diri pada guru untuk berbuat lebih baik; serta
6)       Mengetahui secara lengkap dan komprehensif tentang hal-hal pendukung kelancaran proses belajar-mengajar.
Dalam proses pelaksanaannya, supervisor seharusnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)       Menciptakan situasi yang wajar, mengambil tempat didalam kelas yang tidak menjadi pusat perhatian anak-anak, tidak mencampuri guru yang sedang mengajar, sikap waktu mencatat tidak akan menimbulkan prasangka dari pihak guru.
2)       Harus dapat membedakan mana yang penting untuk dicatat dan mana yang kurang penting.
3)       Bukan melihat kelemahan, melainkan melihat bagaimana memperbaikinya.
4)       Harus diperhatikan kegiatan atau reaksi murid-murid tentang proses belajar.

c)      Tahap Pertemuan Lanjutan
Sebelum pertemuan lanjutan dilaksanakan supervisor mengadakan analisis pendahuluan tentang rekaman observasi yang dibuat sebagai bahan dalam pembicaraan tahap ini. Dalam hal ini supervisor harus mengusahakan data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretsikan secara koperatif dengan guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar.
Setelah melakukan kunjuangan dan observasi kelas, maka supervisor seharusnya dapat menganalisis data-data yang diperolehnya tersebut untuk diolah dan dikaji yang dapat dijadikan pedoman dan rujukan pembinaan dan peningkatan guru-guru selanjutnya. Masalah-masalah professional yang berhasil diidentifikasi selanjutnya perlu dikaji lebih lanjut dengan maksud untuk memahami esensi masalah yang sesungguhnya dan faktor-faktor penyebabnya, selanjutnya masalah-masalah tersebut diklasifikasi dengan maksud untuk menemukan masalah yang mana yang dihadapi oleh kebanyakan guru di sekolah atau di wilayah itu. Ketepatan dan kehati-hatian supervisor dalam menimbang suatu masalah akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembinaan professional guru yang bersangkutan selanjutnya.
Dalam proses pengkajian terhadap berbagai cara pemecahan yang mungkin dilakukan, setiap alternatif pemecahan masalah dipelajari kemungkinan keterlaksanaannya dengan cara mempertimbangkan factor-faktor peluang yang dimiliki, seperti fasilitas dan kendala-kendala yang mungkin dihadapi. Alternatif pemecahan masalah yang terbaik adalah alternatif yang paling mungkin dilakukan, dalam arti lebih banyak faktor-faktor pendukungnya dibandingkan dengan kendala yang dihadapi. Disamping itu, alternatif pemecahan yang terbaik memiliki nilai tambah yang paling besar bagi peningkatan mutu proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah utama pada tahap pertemuan lanjutan adalah:
1)      Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan.
2)      Mengkaji ulang tujuan pelajaran.
3)      Mengkaji ulang target keterampilan serta perhatian utama guru.
4)      Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
5)      Menunjukan serta mengkaji bersama guru hasil observasi (Rekaman data).
6)      Menanyakan perasaan guru setelah melihat rekaman data tersebut.
7)      Menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa yang sebenarnya terjadi atau tercapai.
8)      Menentukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.

6.   Pelaporan Supervisi Klinis
Laporan Hasil Pelaksanaan Supervisi ditujukan kepada pimpinan dan kepada orang yang disupervisi. Kepada atasan atau pimpinan, laporan hasil supervisi dimaksudkan untuk memberikan laporan mengenai temuan-temuan yang diperoleh dari kegiatan supervisi dan selanjutnya dijadikan bahan untuk melakukan pembinaan kompetensi profesional bagi orang yang disupervisi
Laporan untuk pihak yang disupervisi dimaksudkan sebagai balikan dalam upaya menyadarkan posisi kinerja dan meningkatkan kompetensi profesionalnya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam laporan supervisi untuk pihak yang disupervisi perlu memperhatikan aspek-aspek psikologis, fisiologis, latar belakang pendidikan, masa kerja dan aspek lainnya yang berhubungan dengan harga dari pihak yang disupervisi.

C.    Keterampilan Dasar Mengajar
Proses pembelajaran menempatkan guru pada posisi yang sangat penting, karena guru adalah pengelola pembelajaran yang harus dapat melibatkan siswa secara aktif, serta mampu mengorganisir belajar dan mengevaluasi. Untuk menjalankan tugasnya guru harus menguasai keterampilan dasar mengajar.
Keterampilan dasar mengajar merupakan kemampuan yang dapat dipelajari serta diterapkan oleh setiap guru. Jika  guru  mampu  menerapkan keterampilan dasar mengajar secara tepat, maka akan  tercipta  suasana pembelajaran yang aktif   dan menyenangkan, itu berarti guru akan dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Seperti dikemukakan Underwood (1987) keterampilan mengajar yang baik akan sangat mempengaruhi cara siswa  memandang  anda  dan  pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku mereka dalam belajar.
Hasibuan (2004), Suharto (1997), Sulo (1998), dan Djamarah (2000) mengemukakan     delapan     keterampilan dasar mengajar yang harus dikuasai guru, antara lain:  (1)  keterampilan  bertanya dasar dan lanjut, (2) keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran,  (6)  keterampilan  mengelola kelas, (7) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, (8) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil.
Berdasarkan uraian mengenai konsep supervisi klinis dan keterampilan dasar mengajar di atas, pada intinya dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis merupakan salah satu alternatif untuk membantu guru dalam meningkatkan keterampilan  dasar  mengajar,  karena konsep supervisi klinis memang ditujukan untuk memperbaiki aspek-aspek yang menyebabkab guru kurang dapat mengajar dengan baik. Apabila kelemahan atau kesulitan guru dapat diperbaiki,   berarti mutu pembelajaran dapat ditingkatkan, dan pada akhirnya tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal.

D.    Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan  kualitatif  dengan  jenis penelitian pengembangan. Rancangan penelitian meliputi melakukan studi awal, menentukan cara pengembangan dan melakukan pengembangan. Adapun siklus pengembangannya adalah sebagai berikut:
Diadopsi dari Kemmis, S & Mc Taggart (dalam Riyanto, 2001)
Penelitian ini dilaksanakan di MI Miftahul Huda, yang berlokasi di Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Sumber data diambil secara sengaja (purposive sampling) dan tidak dilakukan secara acak. Subyek yang utama dalam penelitian ini adalah kepala MI Miftahul Huda, dan   yang   kedua   adalah   guru.   Kepala MI Miftahul Huda dijadikan subyek penelitian dan informan pertama sehubungan dengan tanggung   jawabnya   sebagai   supervisor yang akan menerapkan supervisi klinis, sedang guru merupakan subyek penelitian dan informan kedua karena guru adalah orang yang akan disupervisi dengan fokus keterampilan dasar mengajarnya sangat lemah. Jadi yang menjadi subyek penelitian jumlahnya empat orang, terdiri dari satu orang kepala madrasah (Abd. Razzaq Qodir, M.Pd), dan tiga orang guru yakni satu orang guru kelas satu (Juma’iyah, S.Hi), satu orang guru mata kelas empat (Mahmud, S.PdI), dan satu orang guru kelas enam (Ridlo’i, S.PdI).





E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.      Pemahaman  Kepala MI Miftahul Huda (Bapak. Abd. Razzaq qodir, M.Pd)  terhadap Supervisi Klinis
Sebelum dilakukan pengembangan, kepala MI Miftahul Huda tidak memahami konsep supervisi klinis. Setelah dilakukan pengembangan, pada siklus pertama kepala madrasah sudah  memahami tentang tujuan, sasaran, proses dan prinsip supervisi klinis, namun  belum mampu   melaksanakan    secara   baik. Pada siklus kedua pemahaman  kepala MI Miftahul Huda terhadap supervisi klinis semakin  baik,  mulai  dapat melaksanakan dengan baik dan merasakan  manfaat  dari  supervisi klinis. Pada siklus terakhir pemahaman kepala MI Miftahul Huda terhadap supervisi klinis berkembang sangat baik.
2.      Pelaksanaan Supervisi Klinis
Sebelum  pengembangan,  kepala MI Miftahul Huda  tidak   pernah   melaksanakan supervisi  klinis,  selama  ini menggunakan  supervisi  kunjungan kelas dengan langkah : menyusun dan mensosialisasikan jadwal supervisi, mengadakan kunjungan kelas, dan memberi pembinaan pada guru.
Setelah dilakukan pengembangan kepala MI Miftahul Huda dapat melaksanakan supervisi klinis dengan sangat baik. Langkah-langkah yang ditempuh oleh kepala MI Miftahul Huda sudah sesuai dengan pendapat Nurtain (1989), Sahertian (2000) serta Bollington, Hopkins dan West (1990) yang menyatakan tiga langkah  supervisi  klinis,  yaitu  :  (1) tahap  pertemuan  awal  atau perencanaan, (2) tahap pelaksanaan supervisi,   dan   (3)   tahap   pertemuan akhir atau balikan.
Deskripsi  setiap  langkah  yang dilakukan kepala MI Miftahul Huda antara lain sebagai berikut :
a)      Tahap Pertemuan Awal atau Perencanaan
Pada siklus pertama semua langkah pertemuan awal telah dilaksanakan oleh kepala sekolah, namun proses diskusi tidak berjalan secara interaktif dan demokratis. Kelemahan   ini   dapat   berkurang pada   siklus   kedua   dan   berhasil secara optimal pada siklus terakhir.
b)      Tahap Pelaksanaan Supervisi
Pada siklus pertama kepala MI Miftahul Huda belum mampu melaksanakan supervisi atau observasi dengan benar, instrumennya  tidak lengkap dan konsentrasinya kurang. Kondisi ini bertentangan dengan pendapat Neide (1996) yang menyatakan bahwa data hasil observasi harus benar-benar kredibel dan direkam berdasar   situasi   yang   terjadi   di kelas.
Kelemahan pada siklus pertama dapat diperbaiki pada siklus kedua, dan   pada   siklus   terakhir   kepala MI Miftahul Huda dapat melaksanakan observasi secara sangat baik.
c)      Tahap   Pertemuan   Akhir   atau Balikan
Pada siklus pertama kepala MI Miftahul Huda belum dapat melaksanakan pertemuan akhir dengan tepat. Pada siklus kedua kepala MI Miftahul Huda sudah menunjukkan sikap demokratis dan interaktif, namun belum melakukan analisis secara terpisah sebelum melakukan pertemuan akhir. Kelemahan yang terjadi pada siklus kedua  berhasil  diperbaiki  pada siklus terakhir, kepala MI Miftahul Huda dapat  melaksanakan  pertemuan akhir atau balikan dengan sangat baik.
Untuk mewujudkan hubungan harmonis dengan guru, sejak siklus pertama kepala sekolah berusaha membina keakraban, bersikap terbuka dan menjalin komunikasi yang baik dengan guru, dengan komunikasi yang baik guru merasa diperhatikan,  dihargai,  aman, percaya dan dapat terbuka menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dialami termasuk pemikiran untuk memperbaiki kesulitannya. Sikap  yang  dilakukan  kepala MI Miftahul Huda ini sudah relevan dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengemukakan: Komunikasi  menjadi  dasar  bagi terciptanya iklim yang positif. Komunikasi yang baik, yang bersifat  dua  arah,  yang  didasari minat yang sama akan membuahkan iklim supervisi yang positif, iklim ini selanjutnya merupakan  wahana  yang subur bagi perkembangan ide-ide, pengarahan supervisor dan kreativitas-kreativitas guru.
3. Pengembangan supervisi klinis di MI Miftahul Huda berhasil meningkatkan keterampilan dasar mengajar guru :
a) Pada siklus pertama, Bu Juma’iyah belum dapat memperbaiki keterampilan bertanya,  kelemahannya  terletak pada  kurang  menggunakan pertanyaan pelacak, pemindahan giliran dan urutan pertanyaan. Kelemahan tersebut dapat diperbaiki pada siklus kedua. Guru telah memperhatikan prinsip keterampilan bertanya  yang dikemukakan  Usman (2004) antara lain : menunjukkan sikap hangat dan antusias, tidak mengulang-ulang pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh siswa, tidak membiarkan siswa menjawab serentak, tidak menunjuk siswa sebelum memberikan pertanyaan, pertanyaan tidak bersifat ganda. Pada siklus ketiga Bu Juma’iyah berhasil memperbaiki keterampilan membimbing  diskusi  kelompok kecil. Perilaku guru dalam membimbing sudah sesuai dengan pendapat Usman (2004), Djamarah (2000) yang menyatakan  bahwa dalam diskusi guru hendaknya menghindari dominasi pembicaraan, monopoli oleh siswa tertentu, membiarkan topik pembicaraan menyimpang,  tidak mengklarifikasi, topik   yang   dipilah   tidak   sesuai dengan minat dan pengetahuan anak.
b) Pak Mahmud pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan dalam  variasi  mengajar.  Guru mampu menggunakan  metode,  pola interaksi dan media yang        sesuai dengan pokok bahasan dan perkembangan siswa. Guru juga mampu mengekspresikan gaya mengajar  yang  dapat meningkatkan minat, motivasi dan perhatian siswa meningkat. Keterampilan variasi mengajar yang diaktualisasikan Pak Mahmud sudah sesuai dengan penjelasan Sardiman  (2004)  yang mengemukakan bahwa ada tidaknya interaksi dalam pembelajaran adalah merupakan   tanggung   jawab   guru, sehingga perlu perhatian khusus. Besar kecilnya variasi interaksi tergantung pada metode mengajar yang digunakan.
Pada  siklus kedua  Pak Mahmud  belum berhasil memperbaiki keterampilan menjelaskan, kelemahannya terletak pada aspek penyajian. Pada siklus terakhir kelemahan tersebut sudah berhasil diperbaiki, guru terampil dalam menjelaskan. Keterampilan yang ditunjukkan guru dalam menyampaikan penjelasan sudah sesuai  dengan  pendapat  Brown (1991) yang menyatakan bahwa penjelasan hendaknya singkat, menarik, dan ada rangkuman pada akhir penjelasan. Pemberian ilustrasi, contoh dan analogi sederhana membuat penjelasan lebih menarik. Keterampilan menjelaskan yang dilakukan  oleh  Pak Mahmud juga relevan dengan kiat yang dikemukakan Gunawan (2004), menurutnya ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan daalam komunikasi yaitu : (1) konten atau isi materi dan pola hubungan yang membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu, (2) cara menyampaikan informasi meliputi media, postur, kontak mata ekspresi wajah dan kualitas suara, (3) konteks atau kondisi dan situasi yang terlibat.
c.  Pak Ridlo’i pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan membuka   dan  menutup   pelajaran, cara yang dilakukan sangat menarik sehingga minat, perhatian, dan kesan siswa meningkat. Keterampilan yang ditunjukkan  guru  sudah  sesuai dengan kiat yang diberikan Brown (1991) yang mengatakan bahwa ada tiga  metode  dalam  membuka pelajaran yakni menggunakan contoh yang penuh arti, analogi dan pertanyaan-pertanyaan.
Pada  siklus  kedua  Pak Ridlo’i  belum berhasil  memperbaiki  keterampilan mengelola kelas, kelemahan pada siklus kedua berhasil diperbaiki pada siklus terakhir, sehingga guru dapat mengelola kelas dengan baik dan benar. Semua yang dilakukan guru sudah relevan dengan kunci sukses pengelolaan kelas yang dikemukakan Depoter  (2001)  antara  lain: integritas, kejujuran, kegagalan awal kesuksesan, berbicara dengan niat baik, komitmen, tanggung jawab, luwes dan seimbang antara jiwa, raga dan fisik.
4. Sebelum pengembangan, persepsi guru terhadap pelaksanaan  supervisi klinis kurang baik. Setelah pengembangan, persepsi guru terhadap supervisi klinis berangsur-angsur  membaik,  pada siklus pertama guru mulai memahami konsep supervisi klinis namun belum dapat memanfaatkan secara baik. Pada siklus kedua persepsi guru makin membaik, dan sampai pada siklus terakhir persepsi guru terhadap pelaksanaan supervisi klinis sangat baik.

F. Kesimpulan
Supervisi klinis akan terjadi jika hubungan kolegial antara pengawas dalam hal ini kepala MI Miftahul Huda dan guru telah terjalin dengan baik. Tanpa prasyarat tersebut guru akan segan untuk meminta kepala MI Miftahul Huda untuk melakukan supervisi klinis terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi guru dalam pembelajaran.
Selain itu, keberhasilan supervisi klinis juga akan sangat tergantung kepada sejauhmana kepala MI Miftahul Huda memberikan bimbingan sesuai kemampuan profesional yang dimilikinya dan sejauhmana guru secara terbuka melaksanakan bimbingan yang telah diberikan oleh pengawas.
Dari hasil pengembangan supervisi klinis di MI Miftahul Huda, sebagai laboratorium lapangan yang digunakan peneliti sebagai subyek peneltian, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Sebelum    dilakukan    pengembangan,
Pemahaman kepala MI Miftahul Huda terhadap teknik supervisi klinis kurang baik. Setelah  dilakukan  pengembangan, pada siklus pertama kepala MI Miftahul Huda sudah memahami  konsep  supervisi  klinis namun belum mampu melaksanakan secara baik. Pada siklus kedua kepala sekolah sudah berhasil menghilangkan kelemahan yang terjadi pada siklus pertama, dan pada siklus terakhir kepala sekolah dapat melaksanakan supervisi klinis dengan sangat baik.
2. Sebelum  dilakukan  pengembangan, kepala MI Miftahul Huda tidak mengerti mengenai langkah-langkah pelaksanaan supervisi klinis. Setelah dilakukan pengembangan kepala MI Miftahul Huda dapat melaksanakan supervisi klinis yang meliputi tahap pertemuan awal    atau perencanaan, pelaksanaan supervisi dan pertemuan akhir atau balikan dengan sangat baik.
3.Pengembangan supervisi klinis di MI Miftahul Huda telah berhasil memperbaiki keterampilan  dasar mengajar  guru  dengan  penjelasan ringkas sebagai berikut :
a)      Bu Jumaiyah,  sampai pada siklus kedua berhasil memperbaiki keterampilan bertanya dasar   dan   lanjut,   dan   papa   siklus ketiga   guru berhasil memperbaiki keterampilan    membimbing    diskusi kelompok kecil.
b)      Pak Mahmud mengajar IPS kelas IV, pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan   menggunakan variasi mengajar, dan sampai pada siklus ketiga guru berhasil memperbaiki keterampilan menjelaskan.
c)      Pak Ridlo’i  mengajar  PKn kelas VI, pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan membuka dan menutup pelajaran. Pada siklus kedua guru belum berhasil memperbaiki keterampilan mengelola kelas, kelemahan pada siklus kedua berhasil  diperbaiki  pada  siklus terakhir, sehingga guru dapat mengelola   kelas   dengan   baik   dan benar.
4. Sebelum pengembangan, persepsi guru terhadap pelaksanaan supervisi klinis kurang baik. Setelah pengembangan, persepsi guru terhadap supervisi klinis berangsur-angsur membaik, dan sampai pada siklus terakhir persepsi guru terhadap pelaksanaan supervisi klinis sangat baik.

G. Saran
1.      Selaku   supervisor,   kepala   MI Miftahul Huda hendaknya lebih peka dan tanggap terhadap kelemahan-kelemahan guru dalam proses pembelajaran, sehingga dapat segera memberi bantuan berupa supervisi klinis terhadap guru yang kondisinya sangat lemah atau kronis.
2.      Untuk melaksanakan supervisi klinis, kepala   MI Miftahul Huda   hendaknya   menerima guru secara apa adanya dan memandang guru sebagai mitra kerja yang membutuhkan bantuan. Kepala MI Miftahul Huda hendaknya  yakin  dan  percaya  bahwa guru mempunyai kemampuan untuk memperbaiki dirinya.
3.      Selaku   supervisor, kepala MI Miftahul Huda hendaknya   terus   berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mampu melaksanakan supervisi klinis secara benar.
4.      Guru tidak perlu merasa ragu atau khawatir, karena tujuan supervisi klinis adalah membantu memperbaiki bukan mencari kesalahan. Jadi guru hendaknya dapat bersikap lebih terbuka dan memandang kepala madrasah sebagai mitra  yang  lebih  berpengalaman  dan siap memberi bantuan.
5.      Guru    sebaiknya    bersikap    terbuka terhadap masukan yang bersifat konstruktif dari kepala sekolah dan kreatif dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Guru  harus  mempunyai rasa percaya diri dan bangga pada profesinya.


Daftar Rujukan

Acheson, K. A & Gall, M. D. 1980. Techniques In Clinical Supervision, Preservice     and Inservice Applications. New York: Longman.

Bafadal, I. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru. Jakarta : Bumi Aksara.

Bollington, R. Hopkins, D., & W est, M. 1990. An  Introduction  to  Teacher  Appraisal. London : Cassell.

Brown,  G.  Alih  Bahasa  Laurens  K..  1991. Pengajaran Mikro, Program Ketrampilan Mengajar. Surabaya: Erlangga University Press.

Deporter, B., Reardon, M., & Nourie, S.S.. Alih Bahasa Ary Nilandary. 2001. Quantum Teaching. Bandung : Kaifa.

Djamarah, Syaiful B.  2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif.  Jakarta: Rineka Cipta.

Gunawan, A. W.   2004. Genius Learning Strategi.   Jakarta:   Gramedia   Pustak a Utama.

Hasibuan & Moedjiono. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Jalal,  F.,  &  Supriyadi,  D.  2001.  Reformasi Pendidikan   Dalam   Konteks   Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Maisyaroh.      1999.      Model      Pembinaan Kemampuan   Mengajar   Guru   dengan Pendekatan  Supervisi    Klinis.    Jurnal Gentengkali. III (1) 21.

Neide, J. 1996. Supervision of Student Teachers: Objective Observation. The Journal  of  Physical Education, Recreation & Dance, 67 (5) 14.

Nurtain, H. 1989. Supervisi Pengajaran, Teori dan Praktek. Jakarta: PPLPTK – Dirjen Dikti. Depdikbud.

Olivia,  P.F.  1993.  Supervision  of  Todays Schools. New York: Longman.

Pidarta,  M.  1999.  Pemikiran  Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwanto, N. 2002. Administrasi    dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaj a Rosda Karya.

Riyanto,   Y.   2001.   Metodologi   Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC.

Sahertian,  P.  A.  2000.  Konsep  Dasar  dan Teknik  Supervisi  Pendidikan.  Jakarta: Rineka Cipta.

    _   __   .  1990. Supervisi Dalam Rangka Program In  Service  Education. Surabaya: Usaha Nasional.

Sardiman, A. M. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sergiovanni,  T.J.  dan  Starratt,  R.J.  1993. Supervision A Redefinition. Fifth Edition. New York. Mc Graw Hill Inc.

Suharto, B. 1997. Pendekatan dan Teknik Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.

Sudjana, Nana. 1988. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Sulo, La Sulo. 1998. Supervisi Klinis.   Dirjen Dikti. Jakarta: Depdikbud.

Syah,    M.    1995.    Psikologi    Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Tanner, D. and Tanner, L. 1987. Supervision in Education : Problems and Practices. New York : Macmillan.

Underwood,    M.    1987.    Effective    Class Management A Practical Approach. Alih Bahasa Susi Purwoko. Jakarta : ARCAN.

Usman,  Moh.   Uzer.   2004.   Menjadi  Guru Profesional. Bandung :  Remaja Rosda Karya.
Waite, D. (1991). Intructional Supervision from a Situational Perspective. Teaching and Teacher Education, 8 (4), 319-332.
Wiles, J. and Bondi, J. (1980). Supervision: A Guide to Practic. Sydney: Charles E. Merril Publishing Company.
Winardi. (1996). Manajemen Supervisi. Bandung: Mandar Maju.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman