PENGEMBANGAN SUPERVISI KLINIS
UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN
DASAR MENGAJAR GURU DI MI MIFTAHUL HUDA WAJAK
(Oleh: Abd. Azis Tata Pangarsa, M.Pd)
A. Pendahuluan
Salah satu komponen
yang memegang
peran
strategis dalam
penyelenggaraan pendidikan adalah guru, karena guru merupakan unsur manusiawi yang langsung berinteraksi dengan siswa dalam proses pembelajaran. Setiap ada inovasi
pendidikan,
khususnya
kurikulum dan peningkatan sumber daya
manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru (Syah, 1995).
Berkaitan dengan
pelaksanaan tugas profesi, guru harus dapat mengelola proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Untuk itu disamping
harus
menguasai bahan, guru juga harus menguasai keterampilan dasar
mengajar sehingga dapat menjalankan
perannya secara optimal. Seperti dikemukakan Underwood (1987) bahwa penguasaan keterampilan dasar mengajar
yang baik akan
sangat mempengaruhi perilaku siswa dalam belajar.
Keterampilan dasar
mengajar adalah suatu perbuatan yang kompleks, dalam arti penggunaan secara integratif
sejumlah komponen yang terkandung dalam perbuatan mengajar untuk menyampaikan pesan pengajaran.
Beberapa kenyataan di
lapangan menunjukkan, ada
guru-guru yang mengalami kesulitan dalam menerapkannya, hal ini terjadi karena
tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan dapat terlatih dengan baik. Mengenai kondisi guru Dedi Supriadi (dalam Jalal dan Supriadi, 2001)
menjelaskan
dari berbagai
penelitian tentang guru diketahui bahwa tingkat penguasaan bahan ajar dan
keterampilan dalam menggunakan metode mengajar yang inovatif masih kurang. Kondisi
ini mendasari perlunya guru memperoleh bantuan dan bimbingan
dari kepala sekolah (supervisor) berupa kegiatan supervisi.
Supervisi mempunyai makna yang sangat penting dalam meningkatkan dan mengembangkan kegiatan pembelajaran. Meskipun demikian, seringkali
guru kurang menyukai kegiatan supervisi, guru merasa takut,
resah, cemas dan ingin menghindar dari kegiatan supervisi. Keengganan terhadap supervisi umumnya bersumber dari perilaku
supervisi yang dilakukan kepala sekolah.
Kepala sekolah selaku
supervisor hendaknya
dapat memilih dan menggunakan model supervisi yang sesuai dengan kebutuhan guru, bagi guru yang keterampilan dasar mengajarnya sangat lemah
dapat dibantu dengan teknik supervisi klinis. Tanner and
Tanner (1987)
berpendapat bahwa supervisi
klinis ditujukan pada peningkatan kualitas
pendidikan dan diyakini
sebagai sebuah pilihan terbaik dari
metode supervisi. Berdasarkan permasalahan di
atas, maka perlu dilakukan
penelitian
tentang pengembangan supervisi klinis
untuk
meningkatkan keterampilan dasar mengajar guru.
B. Supervisi Klinis
1. Pengertian
Supervisi Klinis
Supervisi
klinis
mulai dikembangkan pada akhir dasa warsa lima puluhan dan awal enam puluhan oleh Morris L. Cogan,
Robert Goldhammer, dan Richard Weller di
Harvard
School of Education. Model supervisi klinis
lebih menekankan pada hubungan tatap muka
antara
supervisor
dengan
guru
serta terpusat pada
perilaku aktual guru dalam mengajar. Acheson dan Gall ( 1980 ) memberikan istilah supervisi klinis sebagai Teacher Centered Supervision.
Richard Waller
(dalam
Purwanto,
2002)
menyatakan :
Clinical supervision may be defined as supervision
focused upon the improvement
as instruction by means of
systematic cycles of planning, observation
and intensive intellectual analysis of actual
teaching performance
in
the interest of rational modification.
Sedang K.A. Acheson dan M.D.
Gall (1980) mendefinisikan supervisi klinis sebagai proses
membantu guru-guru
memperkecil kesenjangan
antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Definisi ini memberi indikasi bahwa supervisi
klinis merupakan suatu
proses membantu guru mengatasi kesulitannya dalam mengajar. Hal ini senada
dengan pendapat Olivia (1993) bahwa supervisi klinis
bukan untuk tujuan administrasi, tetapi
lebih ditujukan
untuk meningkatkan kemampuan mengajar guru sehingga memberi efek yang
jauh lebih baik.
Secara
umum supervisi klinis diartikan sebagai bentuk bimbingan profesional yang
diberikan kepada guru berdasarkan kebutuhannnya melalui siklus yang sistematis.
Siklus sistematis ini meliputi: perencanaan, observasi yang cermat
atas pelaksanaan dan pengkajian hasil observasi dengan segera dan obyektif
tentang penampilan mengajarnya yang nyata.
Jika
dikaji berdasarkan istilah dalam “klinis”, mengandung makna: (1) Pengobatan
(klinis) dan (2) Siklus, yaitu serangkaian kegiatan yang merupakan daur ulang.
Oleh karena itu makna yang terkandung dalam istilah klinis merujuk pada
unsur-unsur khusus, sebagai berikut:
a)
Adanya hubungan tatap muka antara
pengawas dan guru didalam proses supervisi.
b)
Terfokus pada tingkah laku yang
sebenarnya didalam kelas.
c)
Adanya observasi secara cermat.
d)
Deskripsi pada observasi secara rinci.
e)
Pengawas dan guru bersama-sama menilai
penampilan guru.
f)
Fokus observasi sesuai dengan permintaan
kebutuhan guru.
2. Karakteristik
Supervisi Klinis
Merujuk
pada pengertian yang telah dipaparkan, terdapat beberapa karakteristik supervisi
klinis, yaitu:
a)
Perbaikan dalam mengajar mengharuskan
guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan
keterampilan tersebut.
b)
Fungsi utama supervisor adalah mengajar
keterampilan-keterampilan kepada guru.
c)
Fokus supervisi klinis adalah:
1)
Perbaikan cara mengajar dan bukan
mengubah kepribadian guru.
2)
Dalam perencanaan pengajaran dan
analisisnya merupakan pegangan supervisor dalam memperkirakan perilaku mengajar
guru.
3)
Pada sejumlah keterampilan mengajar yang
mempunyai arti penting bagi pendidikan dan berada dalam jangkauan guru.
4)
Pada analisis yang konstruktif dan
memberi penguatan (reinforcement) pada pola-pola atau tingkah laku yang
berhasil daripada “mencela” dan “menghukum” pola-pola tingkah laku yang belum
sukses.
5)
Didasarkan pada bukti pengamatan dan
bukan atas keputusan penilaian yang tidak didukung oleh bukti nyata.
d)
Siklus dalam merencanakan, mengajar dan
menganalisis merupakn suatu komunitas dan dibangun atas dasar pengalaman masa
lampau.
e)
Supervisi klinis merupakan suatu proses
memberi dan menerima informasi yang dinamis dimana supervisor dan guru
merupakan teman sejawat didalam mencari pengertian bersama mengenai proses
pendidikan.
f)
Proses supervisi klinis terutama
berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya pelajaran.
g)
Setiap guru mempunyai kebebasan maupun
tanggung jawab untuk mengemukakan pokok-pokok persoalan, menganalisis cara
mengajarnya sendiri dan mengembangkan gaya mengajarnya.
h)
Supervisor mempunyai kebebasan dan
tanggung jawab untuk menganalisis dan mengevaluasi cara supervisi yang
dilakukannya dengan cara yang sama seperti ketika ia menganalisis dan
mengevaluasi cara mengajar guru.
Secara skematik, perbedaan antara
supervisi kelas dengan supervisi klinis sebagai berikut (La Sulo, 1988 : 9):
|
No.
|
Aspek
|
Supervisi Kelas
|
Supervisi Klinis
|
|
1.
|
Prakarsa
dan Tanggung Jawab
|
Terutama
oleh supervisor
|
Diutamakan
oleh guru
|
|
2.
|
Hubungan
Supervisor-Guru
|
Realisasi
guru-siswa/atasan-bawahan
|
Realisasi
kolegial yang sederajat dan interaktif
|
|
3.
|
Sifat
Supervisi
|
Cenderung
direktif atau otokratif
|
Bantuan
yang demokratis
|
|
4.
|
Sasaran
Supervisi
|
Samar-samar
atau sesuai keinginan supervisor
|
Diajukan
oleh guru sesuai kebutuhannya, dikaji bersama menjadi kontrak
|
|
5.
|
Ruang
Lingkup
|
Umum
dan luas
|
Terbatas
sesuai kontrak
|
|
6.
|
Tujuan
Supervisi
|
Cenderung
evaluatif
|
Bimbingan
yang analitik dan deskriptif
|
|
7.
|
Peran
Supervisor dalam Pertemuan
|
Banyak
memberi tahu dan mengarahkan
|
Bertanya
untuk analisis diri
|
|
8.
|
Balikan
|
Samar-samar
atau atas kesimpulan supervisor
|
Dengan
analisis dan interpretasi bersama atas data observasi sesuai kontrak
|
3.
Tujuan Supervisi Klinis
Sergiovanni
dan
Starrat (1993) mengemukakan
tujuan supervisi klinis adalah untuk
memperbaiki pengajaran guru
di kelas dan meningkatkan performance guru. Searah dengan pendapat tersebut Acheson dan Gall (1980) menyatakan tujuan
supervisi
klinis adalah meningkatkan pengajaran guru
di
kelas. Pada intinya dapat disimpulkan bahwa tujuan supervisi klinis adalah untuk
memperbaiki dan meningkatkan perilaku mengajar guru, terutama yang lemah dalammengajar agar dapat
melaksanakan tugas secara profesional.
a)
Tujuan umum
Secara
umum Supervisi klinis bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan
mengajar guru di kelas. Hubungan ini supervisi klinis merupakan kunci untuk meningkatkan
kemampuan professional guru.
b)
Tujuan khusus
Secara
khusus Supervisi klinis bertujuan untuk:
1)
Menyediakan suatu balikan yang objektif
dalam kegiatan mengajar yang dilakukan guru dengan berfokus terhadap:
(a)
Kesadaran dan kepercayaan diri dalam mengajar.
(b)
Keterampilan-keterampilan dasar mengajar
yang diperlukan.
2)
Mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah pembelajaran.
3)
Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam menggunakan strategi- strategi
pembelajaran.
4)
Membantu guru mengembangkan diri secara terus menerus dalam karir dan profesi
mereka secara mandiri.
4. Prinsip-prinsip
Supervisi Klinis
Acheson dan Gall (dalam Maisyaroh, 1999)
mengemukakan tiga prinsip umum pelaksanaan supervisi klinis yang bertumpu
pada psikologi humanistik, yakni : interaktif, demokratik
dan
terpusat pada guru. Prinsip
interaktif mensyaratkan adanya hubungan
timbal balik yang dekat, saling memberi dan menerima, memahami dan saling mengerti antara
guru dan supervisor.
Prinsip demokratik menekankan adanya keterbukaan antara guru dan supervisor untuk mengemukakan pendapat, tidak mendominasi pembicaraan, bersama-sama mendiskusikan
dan mengkaji semua pendapat dalam pertemuan, dan pada
akhirnya keputusan ditetapkan berdasar kesepakatan bersama. Prinsip
terpusat pada guru, artinya proses bantuan harus didasarkan pada kebutuhan dan aspirasi guru serta tetap
berada dalam lingkup perilaku guru dalam mengajar secara aktual.
Dari beberapa prinsip di
atas dapat disimpulkan bahwa prinsip
supervisi klinis meliputi : (1) dilaksanakan
dalam hubungan yang demokratik, interaktif, dan
harmonis; (2) terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru untuk memperbaiki kelemahannya dalam mengajar; (3) observasi dan analisis umpan balik didasarkan pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya.
Berkaitan dengan
proses supervisi klinis, Sahertian (2000)
dan Nurtain (1989)
menawarkan tiga langkah yaitu : (1)
pertemuan awal, (2) observasi, dan pertemuan akhir. Senada dengan dua pendapat di atas, Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (dalam
Bafadal, 2003) mengemukakan lima kegiatan dalam
proses supervisi klinis yakni : (1) pertemuan sebelum observasi, (2)
observasi, (3) analisis dan strategi, (4)
pertemuan supervisi,
dan
(5)
analisis sesudah
pertemuan supervisi.
Supervisi klinis memiliki ciri khas yang membedakan dengan teknik supervisi yang lain, ciri khas
itu antara lain : diawali dengan adanya
kesepakatan mengenai aspek
perilaku mengajar yang
akan diperbaiki, hipotesis beserta instrument observasinya, perbaikan dilakukan
secara satu per satu
berdasar prioritas yang disepakati, ada
pemberian penguatan dan kerjasama yang saling bertanggung
jawab.
Prinsip-prinsip supervisi klinis diatas membawa
implikasi bagi kedua belah pihak (supervisor dan guru).
a)
Implikasi bagi
supervisor antara lain:
1)
Memiliki keyakinan akan kemampuan guru
untuk mengembangkan dirinya serta memecahkan masalah yang dihadapinya.
2)
Memiliki sikap terbuka dan tanggap
terhadap setiap pendapat guru.
3)
Mau dan mampu memperlakukan guru sebagai
kolega yang memerlukan bantuannya.
b)
Implikasi
bagi guru antara lain:
1)
Perubahan sikap dari guru sebagai
seseorang yang mampu mengambil prakarsa untuk menganalisis dan mengembangkan
dirinya.
2)
Bersikap terbuka dan obyektif dalam
menganalisis dirinya.
5.
Prosedur Supervisi Klinis
Prosedur supervisi
klinis berlangsung dalam suatu proses berbentuk siklus, terdiri dari tiga tahap
yaitu: tahap pertemuan pendahuluan, tahap pengamatan dan tahap pertemuan
balikan. Dua dari tiga tahap tersebut memerlukan pertemuan antara guru dan
supervisor, yaitu pertemuan pendahuluan dan pertemuan lanjutan.
a) Tahap
Pertemuan Pendahuluan
Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama
membicarakan rencana tentang materi observasi yang akan dilaksanakan. Tahap ini
memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi
perhatian utama guru, kemudian menterjemahkannya kedalam bentuk tingkah laku
yang dapat diamati. Pada tahap ini dibicarakan dan ditentukan pula jenis data
mengajar yang akan diobservasi dan dicatat selama pelajaran berlangsung. Suatu
komunikasi yang efektif dan terbuka diperlukan dalam tahap ini guna mengikat
supervisor dan guru sebagai mitra didalam suasana kerja sama yang harmonis.
Secara teknis diperlukan lima langkah utama bagi
terlaksananya pertemuan pendahuluan dengan baik, yaitu:
1)
Menciptakan suasana intim antara
supervisor dengan guru sebelum langkah-langkah selanjutnya dibicarakan.
2)
Mengkaji ulang rencana pelajaran serta
tujuan pelajaran.
3)
Mengkaji ulang komponen keterampilan
yang akan dilatihkan dan diamati.
4)
Memilih atau mengembangkan suatu
instrumen observasi yang akan dipakai untuk merekam tingkah laku guru yang akan
menjadi perhatian utamanya.
5)
Instrumen observasi yang dipilih atau
yang dikembangkan dibicarakan bersama antara guru dan supervisor.
b) Tahap
Pengamatan/Observasi Mengajar
Pada tahap ini guru melatih tingkah laku mengajar
berdasarkan komponen keterampilan yang telah disepakati dalam pertemuan
pendahuluan. Di pihak lain supervisor mengamati dan mencatat atau merekam
tingkah laku guru ketika mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang
diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan
mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa.
Kunjungan dan observasi yang dilaksanakan supervisor
bermanfaat untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran sebenarnya. Manfaat
observasi tersebut antara lain dapat:
1)
Menemukan kelebihan atau kekurangan guru
dalam melaksanakan pembelajaran guna pengembangan dan pembinaan lebih lanjut;
2)
Mengidentifikasi kendala yang dihadapi
dalam melaksanakan suatu gagasan pembaharuan pengajaran;
3)
Secara langsung mengetahui keperluan dan
kebutuhan masing-masing guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar;
4)
Memperoleh data atau informasi yang
dapat digunakan dalam penyusunan program pembinaan profesinal secara terinci;
5)
Menumbuhkan kepercayaan diri pada guru
untuk berbuat lebih baik; serta
6)
Mengetahui secara lengkap dan
komprehensif tentang hal-hal pendukung kelancaran proses belajar-mengajar.
Dalam
proses pelaksanaannya, supervisor seharusnya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1)
Menciptakan situasi yang wajar,
mengambil tempat didalam kelas yang tidak menjadi pusat perhatian anak-anak,
tidak mencampuri guru yang sedang mengajar, sikap waktu mencatat tidak akan
menimbulkan prasangka dari pihak guru.
2)
Harus dapat membedakan mana yang penting
untuk dicatat dan mana yang kurang penting.
3)
Bukan melihat kelemahan, melainkan
melihat bagaimana memperbaikinya.
4)
Harus diperhatikan kegiatan atau reaksi
murid-murid tentang proses belajar.
c) Tahap
Pertemuan Lanjutan
Sebelum pertemuan lanjutan dilaksanakan supervisor
mengadakan analisis pendahuluan tentang rekaman observasi yang dibuat sebagai
bahan dalam pembicaraan tahap ini. Dalam hal ini supervisor harus mengusahakan
data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretsikan secara koperatif dengan
guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar.
Setelah melakukan kunjuangan dan observasi kelas,
maka supervisor seharusnya dapat menganalisis data-data yang diperolehnya
tersebut untuk diolah dan dikaji yang dapat dijadikan pedoman dan rujukan
pembinaan dan peningkatan guru-guru selanjutnya. Masalah-masalah professional
yang berhasil diidentifikasi selanjutnya perlu dikaji lebih lanjut dengan
maksud untuk memahami esensi masalah yang sesungguhnya dan faktor-faktor
penyebabnya, selanjutnya masalah-masalah tersebut diklasifikasi dengan maksud
untuk menemukan masalah yang mana yang dihadapi oleh kebanyakan guru di sekolah
atau di wilayah itu. Ketepatan dan kehati-hatian supervisor dalam menimbang suatu
masalah akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembinaan professional
guru yang bersangkutan selanjutnya.
Dalam proses pengkajian terhadap berbagai cara
pemecahan yang mungkin dilakukan, setiap alternatif pemecahan masalah
dipelajari kemungkinan keterlaksanaannya dengan cara mempertimbangkan
factor-faktor peluang yang dimiliki, seperti fasilitas dan kendala-kendala yang
mungkin dihadapi. Alternatif pemecahan masalah yang terbaik adalah alternatif
yang paling mungkin dilakukan, dalam arti lebih banyak faktor-faktor
pendukungnya dibandingkan dengan kendala yang dihadapi. Disamping itu,
alternatif pemecahan yang terbaik memiliki nilai tambah yang paling besar bagi
peningkatan mutu proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah utama pada tahap pertemuan lanjutan
adalah:
1)
Menanyakan perasaan guru secara umum
atau kesan umum guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan.
2)
Mengkaji ulang tujuan pelajaran.
3)
Mengkaji ulang target keterampilan serta
perhatian utama guru.
4)
Menanyakan perasaan guru tentang jalannya
pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
5)
Menunjukan serta mengkaji bersama guru
hasil observasi (Rekaman data).
6)
Menanyakan perasaan guru setelah melihat
rekaman data tersebut.
7)
Menyimpulkan hasil dengan melihat apa
yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa yang sebenarnya
terjadi atau tercapai.
8)
Menentukan bersama-sama dan mendorong
guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau diperhatikan pada
kesempatan berikutnya.
6.
Pelaporan Supervisi Klinis
Laporan Hasil Pelaksanaan Supervisi ditujukan kepada
pimpinan dan kepada orang yang disupervisi. Kepada atasan atau pimpinan,
laporan hasil supervisi dimaksudkan untuk memberikan laporan mengenai
temuan-temuan yang diperoleh dari kegiatan supervisi dan selanjutnya dijadikan
bahan untuk melakukan pembinaan kompetensi profesional bagi orang yang disupervisi
Laporan untuk pihak yang disupervisi dimaksudkan
sebagai balikan dalam upaya menyadarkan posisi kinerja dan meningkatkan
kompetensi profesionalnya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam laporan
supervisi untuk pihak yang disupervisi perlu memperhatikan aspek-aspek
psikologis, fisiologis, latar belakang pendidikan, masa kerja dan aspek lainnya
yang berhubungan dengan harga dari pihak yang disupervisi.
C. Keterampilan Dasar Mengajar
Proses pembelajaran menempatkan guru pada posisi yang sangat penting, karena guru adalah pengelola pembelajaran yang
harus dapat melibatkan siswa secara aktif, serta mampu mengorganisir belajar dan mengevaluasi. Untuk menjalankan tugasnya guru harus menguasai keterampilan dasar mengajar.
Keterampilan dasar mengajar merupakan kemampuan yang
dapat dipelajari serta
diterapkan oleh setiap
guru. Jika guru
mampu menerapkan keterampilan dasar mengajar secara tepat, maka akan tercipta suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, itu berarti guru akan dapat
meningkatkan mutu
pembelajaran. Seperti dikemukakan Underwood (1987) keterampilan
mengajar yang baik akan sangat mempengaruhi cara siswa
memandang
anda dan pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku mereka dalam belajar.
Hasibuan (2004), Suharto (1997),
Sulo
(1998), dan Djamarah (2000) mengemukakan delapan
keterampilan dasar mengajar yang harus dikuasai guru,
antara
lain: (1) keterampilan
bertanya dasar dan lanjut, (2) keterampilan memberi penguatan,
(3) keterampilan mengadakan variasi, (4)
keterampilan menjelaskan, (5)
keterampilan membuka dan menutup pelajaran,
(6) keterampilan
mengelola kelas,
(7) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, (8) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil.
Berdasarkan uraian mengenai konsep supervisi klinis
dan keterampilan dasar mengajar di
atas, pada intinya dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis merupakan salah satu alternatif untuk
membantu guru
dalam meningkatkan keterampilan dasar mengajar, karena konsep supervisi klinis
memang ditujukan untuk
memperbaiki aspek-aspek yang menyebabkab guru kurang dapat mengajar dengan baik.
Apabila kelemahan atau kesulitan guru dapat diperbaiki, berarti mutu pembelajaran dapat ditingkatkan, dan pada akhirnya tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian pengembangan.
Rancangan penelitian meliputi melakukan studi awal, menentukan cara pengembangan dan melakukan pengembangan.
Adapun siklus pengembangannya adalah sebagai berikut:

Diadopsi dari Kemmis, S & Mc Taggart (dalam Riyanto, 2001)
Penelitian ini dilaksanakan di
MI Miftahul Huda, yang berlokasi di Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Sumber data
diambil secara sengaja (purposive sampling)
dan tidak dilakukan secara acak. Subyek yang utama dalam penelitian ini adalah kepala MI Miftahul Huda, dan yang
kedua adalah guru.
Kepala MI Miftahul Huda dijadikan subyek penelitian dan informan pertama sehubungan
dengan tanggung jawabnya sebagai supervisor yang
akan menerapkan supervisi klinis,
sedang guru merupakan subyek penelitian dan informan kedua karena guru
adalah orang yang akan disupervisi dengan fokus keterampilan dasar mengajarnya sangat lemah. Jadi yang menjadi subyek penelitian
jumlahnya empat orang,
terdiri dari satu orang
kepala madrasah (Abd. Razzaq Qodir, M.Pd), dan tiga orang guru yakni
satu
orang guru kelas satu (Juma’iyah, S.Hi), satu orang guru mata kelas empat (Mahmud, S.PdI), dan satu orang guru
kelas enam (Ridlo’i, S.PdI).
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Pemahaman Kepala MI Miftahul Huda (Bapak. Abd. Razzaq
qodir, M.Pd) terhadap
Supervisi Klinis
Sebelum
dilakukan pengembangan, kepala MI Miftahul Huda tidak memahami konsep supervisi klinis. Setelah dilakukan pengembangan, pada
siklus pertama kepala madrasah sudah memahami tentang tujuan,
sasaran, proses dan prinsip supervisi klinis, namun belum mampu melaksanakan
secara baik. Pada siklus kedua pemahaman
kepala MI
Miftahul Huda terhadap supervisi klinis semakin baik,
mulai dapat melaksanakan dengan baik dan
merasakan manfaat dari supervisi klinis. Pada siklus
terakhir pemahaman kepala
MI Miftahul Huda terhadap supervisi
klinis berkembang
sangat baik.
2.
Pelaksanaan Supervisi Klinis
Sebelum pengembangan, kepala MI Miftahul Huda tidak pernah melaksanakan supervisi
klinis,
selama ini menggunakan
supervisi kunjungan
kelas
dengan langkah : menyusun dan
mensosialisasikan jadwal
supervisi,
mengadakan kunjungan kelas,
dan memberi pembinaan pada guru.
Setelah dilakukan pengembangan kepala
MI Miftahul Huda dapat
melaksanakan
supervisi klinis
dengan sangat baik. Langkah-langkah yang ditempuh oleh kepala MI
Miftahul Huda sudah sesuai
dengan pendapat
Nurtain
(1989), Sahertian (2000) serta Bollington, Hopkins
dan West (1990) yang menyatakan tiga langkah supervisi
klinis, yaitu
:
(1) tahap pertemuan awal
atau perencanaan, (2)
tahap pelaksanaan supervisi, dan (3) tahap pertemuan akhir atau balikan.
Deskripsi setiap langkah yang dilakukan kepala
MI Miftahul Huda antara lain
sebagai berikut :
a)
Tahap Pertemuan Awal atau Perencanaan
Pada siklus pertama semua langkah pertemuan awal
telah dilaksanakan
oleh kepala sekolah,
namun proses diskusi tidak
berjalan secara interaktif
dan
demokratis. Kelemahan ini dapat berkurang pada siklus
kedua dan berhasil secara optimal pada siklus terakhir.
b)
Tahap Pelaksanaan Supervisi
Pada siklus
pertama kepala MI
Miftahul Huda belum mampu melaksanakan
supervisi atau observasi dengan benar, instrumennya tidak lengkap dan konsentrasinya kurang. Kondisi ini bertentangan dengan
pendapat Neide
(1996) yang menyatakan bahwa data hasil observasi harus benar-benar kredibel dan direkam berdasar situasi yang terjadi di kelas.
Kelemahan pada siklus pertama dapat diperbaiki pada siklus kedua, dan pada siklus terakhir kepala MI Miftahul Huda dapat
melaksanakan observasi secara sangat baik.
c)
Tahap Pertemuan Akhir atau
Balikan
Pada siklus
pertama kepala MI
Miftahul Huda belum dapat melaksanakan
pertemuan akhir dengan
tepat. Pada siklus kedua kepala MI Miftahul Huda sudah menunjukkan sikap demokratis dan interaktif,
namun belum melakukan analisis
secara terpisah sebelum melakukan pertemuan
akhir. Kelemahan yang
terjadi pada siklus kedua
berhasil diperbaiki pada
siklus terakhir,
kepala MI
Miftahul Huda dapat melaksanakan
pertemuan akhir atau balikan dengan
sangat baik.
Untuk mewujudkan
hubungan
harmonis
dengan guru, sejak siklus pertama kepala sekolah berusaha membina keakraban, bersikap
terbuka
dan
menjalin komunikasi yang baik dengan
guru, dengan komunikasi yang baik guru
merasa diperhatikan, dihargai, aman, percaya dan dapat
terbuka
menyampaikan
kesulitan-kesulitan yang dialami termasuk pemikiran untuk memperbaiki kesulitannya. Sikap yang dilakukan kepala MI Miftahul Huda ini sudah relevan dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengemukakan: Komunikasi
menjadi
dasar
bagi terciptanya iklim yang positif.
Komunikasi yang
baik,
yang bersifat
dua
arah, yang
didasari minat yang
sama akan
membuahkan iklim supervisi yang positif,
iklim
ini selanjutnya
merupakan
wahana yang subur
bagi perkembangan ide-ide,
pengarahan
supervisor dan
kreativitas-kreativitas guru.
3. Pengembangan supervisi klinis
di
MI Miftahul Huda berhasil meningkatkan keterampilan
dasar mengajar guru :
a)
Pada siklus pertama, Bu
Juma’iyah belum dapat
memperbaiki keterampilan bertanya, kelemahannya terletak
pada kurang menggunakan pertanyaan pelacak, pemindahan
giliran dan
urutan pertanyaan. Kelemahan tersebut dapat diperbaiki pada siklus kedua. Guru telah memperhatikan prinsip keterampilan bertanya
yang dikemukakan Usman (2004) antara lain :
menunjukkan
sikap hangat dan antusias, tidak mengulang-ulang
pertanyaan yang tidak
dapat dijawab
oleh siswa, tidak membiarkan siswa menjawab serentak, tidak
menunjuk siswa sebelum memberikan pertanyaan, pertanyaan tidak
bersifat ganda. Pada siklus
ketiga Bu
Juma’iyah berhasil memperbaiki
keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil. Perilaku guru
dalam membimbing sudah sesuai dengan pendapat Usman (2004), Djamarah (2000) yang menyatakan bahwa dalam diskusi guru
hendaknya menghindari dominasi
pembicaraan, monopoli oleh siswa tertentu,
membiarkan topik pembicaraan menyimpang, tidak mengklarifikasi, topik yang dipilah tidak sesuai dengan minat dan pengetahuan anak.
b) Pak Mahmud pada siklus pertama berhasil memperbaiki
keterampilan dalam
variasi mengajar.
Guru mampu menggunakan metode, pola interaksi dan media yang sesuai dengan pokok
bahasan dan
perkembangan siswa. Guru juga mampu
mengekspresikan gaya mengajar yang dapat meningkatkan
minat,
motivasi
dan
perhatian siswa meningkat.
Keterampilan variasi mengajar yang
diaktualisasikan Pak Mahmud sudah sesuai dengan penjelasan Sardiman
(2004)
yang mengemukakan bahwa ada
tidaknya interaksi dalam
pembelajaran adalah merupakan tanggung jawab guru, sehingga perlu perhatian khusus. Besar kecilnya
variasi
interaksi tergantung pada metode
mengajar yang digunakan.
Pada siklus kedua
Pak Mahmud
belum berhasil memperbaiki
keterampilan menjelaskan,
kelemahannya terletak pada aspek penyajian. Pada siklus terakhir kelemahan
tersebut sudah berhasil diperbaiki, guru terampil dalam
menjelaskan. Keterampilan yang ditunjukkan guru
dalam menyampaikan
penjelasan sudah
sesuai
dengan
pendapat Brown
(1991) yang menyatakan bahwa penjelasan
hendaknya singkat, menarik, dan ada
rangkuman pada akhir penjelasan.
Pemberian ilustrasi, contoh dan analogi sederhana membuat penjelasan lebih menarik. Keterampilan menjelaskan yang dilakukan
oleh Pak Mahmud juga relevan dengan
kiat yang dikemukakan Gunawan (2004), menurutnya ada
tiga
elemen penting yang harus diperhatikan daalam komunikasi yaitu : (1)
konten atau isi materi dan pola
hubungan yang membangkitkan motivasi
dan rasa ingin tahu, (2) cara menyampaikan informasi
meliputi media, postur, kontak mata ekspresi wajah dan
kualitas suara, (3)
konteks atau kondisi dan situasi yang terlibat.
c. Pak Ridlo’i pada siklus pertama berhasil memperbaiki
keterampilan membuka
dan menutup pelajaran, cara yang dilakukan sangat menarik sehingga minat, perhatian, dan kesan siswa
meningkat. Keterampilan yang ditunjukkan
guru sudah sesuai dengan kiat
yang diberikan Brown
(1991) yang mengatakan bahwa ada tiga
metode dalam membuka
pelajaran yakni
menggunakan contoh yang penuh
arti, analogi dan
pertanyaan-pertanyaan.
Pada siklus
kedua Pak
Ridlo’i belum berhasil
memperbaiki
keterampilan mengelola
kelas, kelemahan pada siklus
kedua berhasil diperbaiki pada siklus
terakhir, sehingga guru dapat mengelola kelas
dengan baik dan
benar. Semua yang dilakukan guru
sudah
relevan dengan kunci sukses pengelolaan kelas
yang dikemukakan Depoter
(2001) antara
lain: integritas, kejujuran, kegagalan awal kesuksesan, berbicara dengan niat baik, komitmen,
tanggung jawab, luwes dan seimbang antara jiwa, raga dan fisik.
4. Sebelum pengembangan, persepsi guru
terhadap pelaksanaan supervisi klinis kurang
baik. Setelah pengembangan, persepsi guru terhadap supervisi klinis
berangsur-angsur membaik, pada siklus pertama guru
mulai memahami konsep supervisi klinis namun belum dapat memanfaatkan secara baik. Pada siklus kedua persepsi guru makin membaik, dan sampai pada siklus terakhir persepsi guru
terhadap
pelaksanaan supervisi klinis sangat baik.
F. Kesimpulan
Supervisi klinis akan
terjadi jika hubungan kolegial antara pengawas dalam hal ini kepala MI Miftahul
Huda dan guru telah terjalin dengan baik. Tanpa prasyarat tersebut guru akan
segan untuk meminta kepala MI Miftahul Huda untuk melakukan supervisi klinis
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi guru dalam pembelajaran.
Selain itu,
keberhasilan supervisi klinis juga akan sangat tergantung kepada sejauhmana kepala
MI Miftahul Huda memberikan bimbingan sesuai kemampuan profesional yang
dimilikinya dan sejauhmana guru secara terbuka melaksanakan bimbingan yang
telah diberikan oleh pengawas.
Dari hasil pengembangan
supervisi klinis di MI Miftahul Huda, sebagai laboratorium lapangan yang
digunakan peneliti sebagai subyek peneltian, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Sebelum dilakukan pengembangan,
Pemahaman kepala MI
Miftahul Huda terhadap teknik supervisi klinis
kurang baik. Setelah dilakukan
pengembangan, pada siklus
pertama kepala MI Miftahul
Huda sudah memahami
konsep
supervisi klinis namun belum mampu
melaksanakan secara baik. Pada siklus
kedua kepala sekolah sudah berhasil menghilangkan kelemahan yang
terjadi pada siklus pertama, dan pada siklus
terakhir kepala sekolah dapat melaksanakan supervisi klinis dengan sangat baik.
2. Sebelum dilakukan
pengembangan, kepala MI Miftahul Huda tidak
mengerti mengenai langkah-langkah
pelaksanaan supervisi klinis. Setelah dilakukan pengembangan kepala MI
Miftahul Huda dapat melaksanakan supervisi klinis yang meliputi tahap pertemuan awal atau perencanaan, pelaksanaan supervisi dan pertemuan akhir atau balikan dengan sangat baik.
3.Pengembangan supervisi klinis
di MI Miftahul Huda telah berhasil memperbaiki keterampilan dasar
mengajar
guru
dengan penjelasan ringkas sebagai berikut :
a)
Bu
Jumaiyah, sampai pada
siklus kedua berhasil memperbaiki keterampilan bertanya dasar dan lanjut, dan papa siklus ketiga guru berhasil
memperbaiki keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.
b)
Pak Mahmud mengajar IPS kelas IV, pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan menggunakan
variasi mengajar, dan sampai pada siklus ketiga guru berhasil
memperbaiki keterampilan menjelaskan.
c)
Pak
Ridlo’i mengajar
PKn kelas VI, pada siklus pertama berhasil memperbaiki keterampilan membuka dan menutup
pelajaran. Pada siklus kedua guru
belum berhasil memperbaiki
keterampilan mengelola kelas, kelemahan pada siklus
kedua berhasil
diperbaiki
pada siklus terakhir, sehingga guru
dapat mengelola kelas dengan baik
dan benar.
4. Sebelum pengembangan,
persepsi guru terhadap pelaksanaan supervisi klinis
kurang baik. Setelah pengembangan, persepsi guru terhadap supervisi klinis berangsur-angsur membaik, dan sampai pada siklus terakhir persepsi guru
terhadap
pelaksanaan supervisi klinis sangat baik.
G. Saran
1.
Selaku supervisor, kepala MI
Miftahul Huda hendaknya lebih peka dan tanggap terhadap kelemahan-kelemahan guru dalam
proses pembelajaran, sehingga dapat segera
memberi bantuan berupa supervisi klinis
terhadap guru
yang kondisinya sangat lemah atau
kronis.
2.
Untuk melaksanakan supervisi klinis,
kepala MI
Miftahul Huda hendaknya menerima guru secara apa adanya dan memandang
guru sebagai mitra kerja yang membutuhkan bantuan. Kepala MI
Miftahul Huda hendaknya yakin
dan
percaya bahwa guru mempunyai kemampuan untuk memperbaiki dirinya.
3.
Selaku supervisor,
kepala MI
Miftahul Huda hendaknya terus
berupaya meningkatkan pengetahuan
dan keterampilannya, sehingga
mampu melaksanakan supervisi klinis
secara benar.
4.
Guru tidak perlu merasa
ragu
atau khawatir, karena tujuan supervisi klinis adalah membantu
memperbaiki bukan
mencari kesalahan. Jadi guru hendaknya dapat bersikap lebih terbuka dan memandang
kepala madrasah
sebagai mitra yang lebih berpengalaman dan siap memberi bantuan.
5.
Guru sebaiknya bersikap terbuka terhadap masukan
yang bersifat konstruktif
dari kepala sekolah dan kreatif dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Guru harus mempunyai rasa percaya diri dan bangga pada profesinya.
Daftar Rujukan
Acheson, K. A & Gall,
M.
D. 1980. Techniques In Clinical Supervision, Preservice and Inservice Applications. New York: Longman.
Bafadal, I. 2003. Peningkatan Profesionalisme
Guru. Jakarta : Bumi Aksara.
Bollington, R. Hopkins, D., & W est, M. 1990.
An Introduction to
Teacher Appraisal.
London : Cassell.
Brown, G.
Alih Bahasa
Laurens
K..
1991.
Pengajaran Mikro, Program Ketrampilan Mengajar. Surabaya: Erlangga University
Press.
Deporter, B., Reardon, M., & Nourie, S.S.. Alih Bahasa Ary Nilandary. 2001. Quantum Teaching. Bandung : Kaifa.
Djamarah, Syaiful B. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam
Interaksi Edukatif. Jakarta:
Rineka Cipta.
Gunawan, A. W. 2004. Genius Learning
Strategi. Jakarta: Gramedia Pustak a Utama.
Hasibuan & Moedjiono. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Jalal, F., & Supriyadi, D.
2001.
Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Maisyaroh. 1999. Model
Pembinaan Kemampuan Mengajar Guru dengan Pendekatan Supervisi Klinis. Jurnal Gentengkali. III (1) 21.
Neide, J. 1996. Supervision of Student Teachers: Objective Observation. The
Journal
of Physical Education,
Recreation & Dance, 67 (5) 14.
Nurtain, H. 1989. Supervisi
Pengajaran, Teori
dan Praktek. Jakarta: PPLPTK – Dirjen Dikti. Depdikbud.
Olivia, P.F.
1993. Supervision
of Today’s
Schools. New York: Longman.
Pidarta, M.
1999.
Pemikiran Tentang
Supervisi
Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Purwanto, N. 2002. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaj a
Rosda Karya.
Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC.
Sahertian, P. A.
2000. Konsep Dasar dan Teknik
Supervisi
Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
_ __ . 1990. Supervisi Dalam Rangka Program In Service
Education. Surabaya: Usaha Nasional.
Sardiman, A. M. 2004. Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sergiovanni, T.J. dan Starratt,
R.J. 1993. Supervision A Redefinition. Fifth Edition. New York. Mc Graw Hill Inc.
Suharto, B. 1997. Pendekatan dan Teknik Dalam Proses Belajar Mengajar.
Bandung:
Tarsito.
Sudjana, Nana. 1988.
Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Sulo, La Sulo. 1998. Supervisi Klinis. Dirjen Dikti. Jakarta: Depdikbud.
Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Tanner, D. and Tanner, L. 1987. Supervision in Education : Problems and Practices. New York : Macmillan.
Underwood, M. 1987. Effective Class Management A Practical Approach. Alih Bahasa Susi Purwoko. Jakarta : ARCAN.
Usman, Moh. Uzer. 2004. Menjadi
Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Waite, D.
(1991). Intructional Supervision from a Situational Perspective. Teaching and
Teacher Education, 8 (4), 319-332.
Wiles, J. and
Bondi, J. (1980). Supervision: A Guide to Practic. Sydney: Charles E. Merril
Publishing Company.
Winardi. (1996).
Manajemen Supervisi. Bandung: Mandar Maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar