POSISI MADRASAH
DALAM KONTEKS OTONOMI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU No.29 tahun 199)
tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan
oleh Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah, memungkinkan daerah
untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan
daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi
daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan terhadap perubahan
dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya
peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan.
Disadari bahwa pemberian porsi yang lebih besar kepada daerah untuk
melaksanakan pembangunan di bidang pendidikan membawa sejumlah
implikasi, seperti bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk menjalankan peran yang lebih
besar menjadi sentral dalam pelaksaan desentralisasi pendidikan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan seperti sekarang terdapat
persoalan yang muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan
berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan yang pada dasarnya
terkonsentrasi pada tingkat kabupaten dan kota. Lebih dari itu,
desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada tingkat
kabupaten dan kota, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat sekolah
Otonomi pendidikan dimaksudkan agar
sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya
sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta agar sekolah lebih tanggap
terhadap kebutuhan lingkunagn setempat. Dampak dari pemberlakun
kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut juga sangat dirasakan oleh
lembaga madrasah yang nota bene juga merupakan institusi pendidikan (Islam).
Madrasah yang selama ini lebih akrab di juluki “anak tiri” dari
Kementrian Pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah seakan telah jatuh
dan tertimpa tangga. Alasan itu cukuplah logis, karena selain selama ini
kurang mendapat perhatian dari pemerintah melalui dewan kependidikan
yang dimiliki, alasan lain yang muncul adalah dengan diberlakukannya
kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, seolah madrasah
ditinggal begitu saja oleh pemerintah.
Anggapan tersebut boleh saja salah, karena kalau kita telusuri jauh,
sebenarnya madrasah yang selama ini hidup dan berkembang di Indonesia
adalah manifestasi dari suara akar rumput, dengan berbagai keunikan
yang dimiliki. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah lembaga
madrasah dalam konteks otonomi dan desentralisasi pendidikan terus
menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu instrument pendidikan
berciri khas Islam yang dimiliki oleh Indonesia.
B. Sejarah Kemunculam dan Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia
1. Latar Belakang Kemunculan Madrasah di Indonesia
Dalam sejarah pendidikan Islam, lembaga madrasah sudah menjadi fenomena
menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad H) , khususnya ketika Wazir Bani
Saljuk Nizam Al-Mulk mendirikan Madrasah Nizamiyyah di Baghdad.
Kebanyakan penulis sejarah Islam juga membuktikan bahwa lembaga
pendidikan itu merupakan salah satu bentuk khas dari tradisi pendidikan
dalam Islam .
Sebelum pendirian madrasah, praktek-praktek pendidikan Islam lebih
banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab disamping beberapa
pusat studi seperti
Dar al-Hikmah. Pada masa pertengahan, madrasah dipandang sebagai lembaga
pendidikan Islam par excellence, menjadi tren hamper disemua wilayah
kekuasaan Islam. Tentu saja, sejalan dengan perkembangan masa yang terus
membawakan perubahan-perubahan, eksistensi madrasah di dunia Islam
tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian, dari yang semula bersifat
ekslusif menjadi lembaga pendidikan yang lebih terbuka, baik dari sudut
kelembagaan, metodologi, maupun kurikulum dan pengelolaannya .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan
madrasah sebagai-istilah sebutan-untuk satu jenis pendidikan Islam di
gunakan di Indonesia . Namun, beberapa pihak menyepakati bahwa
kemunculan madrasah didasarkan atas pengertian umum yang memaknai bahwa
lembaga madrasah telah masuk dan berkembang di Indonesia seiring dengan
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia .
Walaupun belum menemukan kata sepakat, mayoritas peneliti lembaga
pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa
menyerupakan antara madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad
11-12 M dengan madrasah yang berkembang di Indonesia adalah sesuatu yang
tidak pada tempatnya. Kalaupun mau dihubungkan, hal iru lebih tepat
bila dikaitkan dengan pesantren. Pasalnya, bila diukur dari ketentuan
fisik, menurut George Maksidi, ditemukan kesamaan diantara keduanya,
yaitu sama-sama terdiri dari masjid, asrama dan ruang belajar .
Sejalan dengan semua di atas, agaknya lebih tepat untuk menyimpulkan
bahwa madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri;
dan hal itu dimulai pada awal abad ke-20. kesimpulan ini didasarkan
atas penyisiran bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal
abad ke-20 merupakan pengaruh dar gerakan pembaharuan Islam di Indonesia
yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaharuan Islam di
Timur Tengah .
Berbeda dengan tesis H. Maksum, ada pendapat lain yang disampaikan oleh
Karel A Steenbrink seorang sarjana Teologi Universitas Katolik Nijmegen
Belanda tentang pertumbuhan lembaga madrasah di Indonesia. Dalam
penelitiannya yang menelusuri pertumbuhan marasah di Indonesia, dia
menyimpulkan bahwa kemunculan madrasah adalah respon pesantren sebagai
akibat adanya lembaga pendidikan modern secara berjenjang yang
dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda . Hal ini diamini oleh Abdu
Rachman Assegaf yang menjabarkan bahwa isi dari kebijakan kolonial
Belanda adalah pemerintah Belanda memberlakukan ordonansi Indische
Staatsregeling pasal 179 ayat 2 yang menyatakan “pengajaran umum adalah
netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati
keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran agama hanya boleh berlaku
di luar jam sekolah” .
Dari perdebatan ini, ada dua kemungkinan kebenaran eksistensi historis
awal kemunculan lembaga madrasah di Indonesia, yakni adanya pembaharuan
Islam dan adanya pengaruh kebijakan pendidikan yang diterpakan oleh
pemerintah colonial belanda. Terlepas dari perdebatan ini, menurut hemat
penulis, yang jelas madrasah adalah salah satu bentuk lembaga
pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam dan perlu mendapat perhatian
atau apresiasi yang memadai dari bebrbagai kalangan sebagai lembaga
pendidikan berciri khas Islam yang asli dan muncul dari rahim tradisi
Indonesia.
2. Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia
Memulai tulisan tentang perkembangan madrasah di Indonesia, penulis
membagi setting historisi ini dalam dua fase, yaitu perkembangan
madrasah di era orde lama dan madrasah di era orde lama.
Perkembangan madrasah pada masa orde lama sangat identik dengan peran
Departemen Agama yang resmi didirikan pada tanggal 3 januari 1946.
lembaga inilah yang yang secara intensif memperjuangkan politik
pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu orientasi Departemen Agama
dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada pada aspirasi umat Islam
agar pendidikan agama diajarkan diberbagai sekolah, disamping pada
pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu document disebutkan
bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi:
pertama, memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikulir
(swasta), kedua, memberikan pengetahuan umum di madrsasah, ketiga,
mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Hakim Islam
Negeri (PHIN) .
Salah satu gambaran yang cukup menonjol dari perkembangan madrasah
adalah didirikannya kedua lembaga milik Depag diatas. Menurut mahmud
Yunus, kedua madrasah ini menandai perkembangan yang sangat signifikan,
yaitu dimana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang
professional dalam bidang keagamaan. Terutama PGA yang nantinya akan
menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis menjadi motor bagi
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah, sehingga bias
dikatakan bahwa lembaga tersbut menjamin perkembangan madrasah di
Indonesia . Salah satu hasil yang cukup menonjol dari pembinaan madrasah
pada masa Orde Lama adalah pengembangan yang intensif terhadap madrasah
keguruan, baik dalam bentuk Pendidikan Guru Agama maupun Sekolah Guru
Hakim Agama.
Pada perkembangan lembaga madrasah selanjutnya, secara historis pada
masa Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah pada dasarnya lebih bersifat
melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini, di era
tahun 70-an sampai 80-an, madrasah belum dipandang sebagai bagian dari
sitem pendidkan nasional, akan tetapi hanya menjadi lembaga pendidikan
otonom di bawah pengawasan Departemen Agama. Secara akademik, alasan
utamanya adalah alasan politis bahwa system pendidikan madrasah lebih
didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum
terstandartkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan
manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Fenomena kepedulian pemerintah dalam membenahi kelembagan madrasah mulai
muncul pada tahun 1975. Pada tahun tersebut, pemerintah menggulirkan
kebijkan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri: Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri.
Latar belakang kemunculan keputusan ini sebagaimana terulang dalam
dictum pertimbangannya yang menyatakan “Bahwa dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional pada umumnya dan mencerdaskan kehidupan
bangsa pada khusunya, serta memberikan kesempatan yang sama pada
tiap-tiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan pengajaran yang sama bagi warga negara, perlu diambil
langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, agar
lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum
dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi” .
Dalam konteks di atas, sejumlah diktum lain yang memperkuat posisi
madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagia-bagian yang
menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum. Dalam Bab I, pasal
1, ayat (2) dari surat keputusan itu dinyatakan bahwa madrasah itu
meliputi tiga tingkatan:
1. Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar
2. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
3. Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas .
3. Integrasi Madrasah dalam Sitem Pendidikan Nasional
Akhir decade 80-an dunia pendidikan Islam di Indonesia memasuki era
integrasi, ditandai dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Berbeda dengan dengan Undang-Undang kependidikan
sebelumnya, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis
pendidikan. Dalam Undang-Undang ini tertuliskan bahwa pendidikan
nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah, serta meliputi
jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan
kejuruan, dan pendidikan keagamaan. Walaupun secara eksplisit tidak
mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam, tetapi dalam prakteknya
UU ini memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum
pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam .
Implikasi dari UUSPN ini terhadap pendidikan madrasah dapat diamati pada
kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, sampai jenjang Aliyah. Secara umum perjenjangan itu parallel
dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah umum, mulai dari Sekolah
Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah
Umum. Di bawah ketentuan terintegrasi itu, Madarsah Ibtidaiyah pada
dasarnya adalah “Sekolah Dasar Berciri khas Islam” Madrasah Tsanawiyah
adalah “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri khas Islam”.
Kedua-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam katagori pendidikan dasar.
Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan sebagai “Sekolah
Menengah Umum Berciri khas Islam”.
C. Konsep Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
1. Sejarah Lahirnya Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomi bersal dari bahasa yunani autos yang
berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau aturan (Abdurrahman,
1987 : 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan
pengertian tentang otonomi. Ototnomi diartikan sebagai zelfwetgeving
atau “pengundangan sendiri” (Danurejdo, 1977), “perundangan sendiri”
(Koesoemahatmadja, 1979 : 9) “mengatur atau memerintah sendiri” (Riant
Nugroho, 2000 : 46). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan
bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain
mengandung arti perundangan, juga mengandung pengertian pemerintahan
(bestuur) .
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para
pakar, diantaranya Syarif Saleh mengertikan otonomi sebagai hak
mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari
pemerintah pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah
kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah,
dengan keuangan sendiri, menetukan hokum sendiri, dan pemerintah
sendiri. Sugeng Istanto meyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak
dan wewenagng untuk mengatur dan megurus rumah tangga daerah. Sementara
itu Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa Istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan dan kemadirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu adalah wuhud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggung jawabkan. S.H. Sarundajang menulis bahwa hakikat
otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu
daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur
rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenag
otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya; (3) Daerah tidak
boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain
sesuai dengan wewenag pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya, dan ;
(4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah lain .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, ide tentang otonomi dan
desentralisasi sebenarnya telah lama dimulai, yakni sejak tahun 1973,
tepatnya sejak ditetapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang membagi tugas antara pusat dan daerah. Langkah kearah
desentralisasi dilanjutkan beberapa tahun berikutnya melaui Peraturan
Pemerintah No. 43 tahun 1992 dan diperkuat lagi melaui Peraturan
Pemerintah No. 8 tahun 1995. sejak Peraturan Pemerintah tersebut
diberlakukan, uji coba desentralisasi yang hasilnya memberikan kekuasaan
Daerah Tingkat II ternyata tidak berjalan lancar, sebab daerah belum
siap melaksanakan dan mendukung pengelolaan program pengembangan secara
independent .
Upaya ke arah pelaksanaan desentralisasi semakin gencar dengan maraknya
tuntutan terhadap reformasi total atas penyelenggaraan pemetintahan Orde
Baru oleh kekuatan rakyat yang menginginkan adanya perubahan. Puncaknya
pada tahun 199 telah ditetapkan dua perundang-undangan, yaitu UU No. 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya disusul dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang mengatur kewenagan
pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.
Sebagai suatu keputusan politis, desentralisasi berarti pemberian
wewenag dari pemilik wewenang kepada pelaksana penguasa di bawahnya.
Desentralisasi juga mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam
pemerintahan. Pertama, perubahan yang berkaitan dengan urusan yang
tidak diatur oleh pemerintah pusat yang secara otomatis menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan lembaga pendidikan.
Para pengelola dan pengambil kebijakan pendidikan di daerah dituntut
untuk menyadari bahwa keberadaan pendidikan merupakan tanggung jawab
yang harus di emban dengan baik. Dalam kerangka ini, pemerintahan daerah
harus berupaya agar pendidikan yang selama ini kurang diperhatikan
secara proporsional dibandingkan dengan sector politik, ekonomi dan
tehknologi oleh pemerintah pusat, harus diposisikan secara strategis
sebagai dasar pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kedua, perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Dalam hal ini, desentralisasi menunjukkan adanya pelimpahan wewenang
dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom,
yang menempatkan daerah kabupaten kota sebagai sentra desentralisasi.
Pergeseran kewenangan ini berkaitan erat dengan kosentrasi pengambilan
kebijakan yang diberikan kepada struktur lebih bawah dalam perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan berkenaan dengan pendidikan.
Desentralisasi pendidikan juga mengandung arti adanya pelimpahan
kewenangan pemerintah kepada masyarakat atau pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan untuk ikut serta bertanggung jawab
dalam memajukan pendidikan .
Dengan mengamati maksud dan tujuan dari kebijakan otonomisasi dan
desentralisasi bidang pendidikan di atas, Hasbullah menyatakan
setidakanya ada tiga tantangan besar yang harus dipikul oleh bidang
pendidikan di Indoensia seiring dengan diberlakukannya peraturan
tersebut, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan
yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten
dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, dan; (3) sejalan dengan
diberlakukannya otonomi daerah system pendidikan nasional dituntut untuk
melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses
pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman,
memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong
partisipasi masyarakat .
2. Tantangan Yang Dihadapi Lembaga Madrasah di Era Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Otonomi pendidikan di satu sisi tidak dapat dipisahkan dari gerakan
global, yaitu proses demokratisasi, atau menurut istilah komtemporer
adalah “proses menuju masyarakat madani”. Di seluruh dunia muncul
gerakan-gerakan dari bawah (grass-root) yang menginginkan kehidupan yang
lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan . Suyanto juga
memaparkan bahwa dalam menghadapi persaingan global abad ke-21 kemampuan
tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing di tingkat global,
dan bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
SDM, terutama dalam era otonomi seperti sekarang .
Otonomi pendidikan sebenarnya adalah sebuah upaya untuk mengembalikan
pendidikan kepada masyarakat pemiliknya agar hidup dari, oleh dan untuk
masyarakat, agar layanan pendidikan lebih memenuhi kebutuhan, lebih
cepat, lebih efisien, dan efektif. Namun, persoalannya sekarang adalah
apakah kebijakan otonomi pendidikan yang terangkum dalam otonomi daerah
tidak membawa dampak tertentu dalam implementasinya? Lalu, bagaimanakah
prospek lembaga madrasah dalam menghadapi pemberlakukan Undang-Undang
tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, posisi lembaga madrasah dalam struktur
pendidikan nasional bagaikan seorang anak tiri. Penulis katakan
demikian karena, madrasah sampai saat ini belum masuk dalam struktur
Departemen Pendidikan, dan masih istiqomah menjadi santri dari
Departemen Agama. Sedangkan di sisi lain kita sadar, bahwa urusan
Departemen Agama sangatlah kompleks, yaitu sebagai induk dari
urusan-urusan keagamaan yang ada di Indonesia. Hal ini memungkinkan
terjadinya pertarungan kepentingan, antara urusan agama dengan urusan
kependidikan yang ada di bawahnya (madrasah. Red). Berbeda dengan
lembaga madrasah yang selama ini dikelola oleh swata, yang memang nota
bene sejak dari awal sudah tumbuh dan berkembang oleh, dari dan utuk
masyarakat, sehingga tidak akan terkejut menghadapi kebijakan pemerintah
mengenai otonomi pendidikan.
Sebuah tantangan yang harus dijawab oleh lembaga madrasah dalam konteks
otonomi pendidikan, adalah: (1) apa sebenarnya makna lembaga madrasah
ditengah-tengah masyarakat otonom dan peran apa yang dimainkannya dalam
rangka memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah, khususnya di
bidang pengembangan Pendidikan Islam? dan (2) mampukah lembaga madrasah
meng-guide perhatian masyarakat dan pemerintah daerah otonom, sehingga
mereka mampu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan finansialnya untuk
pengembangan lembaga madrasah ke depan? .
Persoalan lain yang perlu ditanggapi serius oleh lembaga madrasah
adalah, di era global seperti sekarang ini, dimana kita sebagai
keseluruhan bangsa Indonesia harus siap bersaing dengan dunia global,
dengan berbagai standarisasi dan kompetensi tertentu. Pertanyaanya
adalah, mampukah out put lembaga madrasah bersaing dengan lulusan
sekolah umum dalam menghadapi pasar global dan dunia kerja. Sebelum jauh
menuju kesana, kita juga harus melihat dalam kasus UAN, apakah
prosentase peserta didik madrasah yang lulus dari UAN lebih besar dari
lembaga sekolah umum.
Berbagai persolan di atas kiranya cukup kompleks untuk sekedar
merenungkan dan memikirkan kembali, apa yang seharusnya dilakukan oleh
lembaga madrasah untuk mempertahankan eksistensinya di negara ini,
apakah masih mampu menunjukkan tajinya seperti yang sudah menjadi memori
masa lalu, atau pamornya akan semakin meredup seiring dengan
dikembalikannya posisi kebijakan pendidikan ke tangan asalnya yaitu
masyrakat.
D. Reposisi Lembaga Madrasah dalam Konteks Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Memasuki era otonomi seperti sekarang ini, sudah bukan waktunya lagi
memperdebatkan apakah pendidikan agama dimasukkan ke dalam bidang agama
atau bidang pendidikan. Yang harus dilakukan adalah melihat relitas
madrasah sebagai “instrument
pendidikan”. Oleh karena itu, kini saatnya pemerintah rela memasukkan
institusi madrasah ke dalam bidang pendidikan. Mengingat, praktek
sentralisasi manajemen pendidikan (baik umum maupun keagamaan) selama
ini dinilai gagal. Selama ini Pemerintah Pusat dirasa tidak mampu
menangani kasus-kasus kriminalitas pendidikan seperti KKN, pungutan
liar, pembocoran naskah ujian, dan berbagai kasus serupa lainnya .
Madrasah sendiri dalam pertumbuhan dan perkembanagnnya yang dilakukan
sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 telah menunjukkan banyak
banyak kemajuan. Beberapa indicator yang menunjukkan keberhasilan
pengembangan madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (terutama
negeri) sudah banyak dan cukup bagus dan baik. Bahkan ada beberapa
madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sarana pendidikan yang
mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium, dan perpustakaan.
Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya
melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun diluar
negeri .
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah,
lahir dan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah
pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara
demokratis. Meskipun dalam pengembangannya madrasah dikelola oleh
yayasan, pengurus, bahkan peroeangan, kehidupan madrasah tetap ditopang
dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Ketika sekarang banyak
pihak berbicara tentang otonomi pendidikan, strategi pendidikan dengan
pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based
manajemen), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah
memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenal hal tersebut. Inilah
kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan
bermuara pada system madrasah (school based management) yakni
pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom.
Pilihan otonomisasi dan desentralisasi pendidikan secara tidak langsung
telah memberikan madrasah kepada pemilik awalnya, yaitu masyarakat,
dengan kata lain berarti Departemen Agama telah menyerahkan
penyelenggaraan madrasah ke pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan
pengakuan pemerintah terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan yang
mempunyai keunikan tersendiri dan sebagai bagian dari diversifikasi
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dalam menghadapi era otonomi pendidikan, madrasah harus melakukan
tindakan-tindakan yang mendukung terhadap kebijakan tersebut, hal ini
disebabkan bahwa sebenarnya inilah kekuatan madrasah itu sendiri, yakni
kembali kepada mainstream awal, dimana madrasah sendiri itu muncul
sebagai kekuatan rakyat tersendiri. Namun, dengan istilah “menang angin”
seperti sekarang juga harus dijadikan landasan berpijak bagi institusi
madrasah untuk terus berbenah dan melakukan re-orientasi terhadap
tujuan, metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Sebab
kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga
madrasah akan tertinggal. Dengan demikian, perlu dilakukan tinjauan
kembali tentang posisi madrasah di dalam dinamika kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Dengan kata lain madrasah sendiri harus merumuskan
kembali posisinya atau reposisi madrasah. Apabila tidak demikian,
madrasah akan kehilangan identitasnya dan menjadi seperti sekolah yang
menjadi anak emas pemerintah selama ini .
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan madrasah sebagai bahasa penjelas dari reposisi madrasah itu
sendiri. Pertama, madarasah harus mengakomodasi berbagai masukan dan
kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada
masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan madrasah.
Kedua, madrasah hendaknya menajdi lembaga inklusif dan universal yang
mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi
keilmua di lembaga pendidikan ini. Madrasah hendaknya menerima integrasi
ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta memebrikan kebebasan kepada para
siswa untuk mendalami pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan
pilihan minatnya.
Ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang responsive terhadap berbagai
perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam
dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and
mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai
keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang
tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan efisien dalam
proses pendidikan harus di kedepankan oleh madrasah .
E. Penutup
Disadari ataupun tidak, otonomi pendidikan memeberikan kesempatan luas
terhadap lembaga pendidikan madrasah menuju kemandirian dan
keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Tetapi semua
itu menuntut tanggungjawab dari diri sendiri bersama seluruh masyrakat.
Karena, tidak sepantasnyalah kita selalu meyalahkan birokrasi atau
pemerintah sebagai penghambat kemajuan madrasah
Pemberlakukan otonomi pendidikan inipun yang seharusnya dijadikan
madrasah untuk merekonstruksi mainstream awalnya. Juga dengan situasi
seperti ini, seharusnya menggerakkan hati nurani para pengeola madrasah
untuk terus membuka diri terhadap perubahan yang ada. Disertai dengan
perbaikan-perbaikan dari segi tujuan, metode serta manajerialisasi yang
selama ini dirasa menjadi titik lemah lembaga madrasah.
Daftar Pustaka
Abdu Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan
Pendidikan Agama Islam Dari Proklamasi ke Reformasi, Kurnia Kalam,
Yogyakarta 2005
Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Ar-Ruzz, Yogyakarta 2006
Ainur Rafiq Dawam dan Ahmad Ta’rifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Listafariska Putra, Yogyakarta 2004
Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
2006
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
serta Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1975 jo. 037/U/1975 jo. No. 36
tahun 1975 tentang Penigkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999
Mastuki, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia, Bagian Proyek
EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, Jakarta 2001
Muhaimin, Wacana Pengembangan Kependidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003
Sindhunata (Editor), Mengagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi,
Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta 200.
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global). PSAP Muhammadiyah, Jakarta 2006
Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional tahun 1989
Blog ini tercipta dengan tujuan sebagai media komunikasi dan informasi tentang pengembangan kompetensi guru Madrasah Ibtidaiyah (MI), yang pada akhirnya dapat memajukan dunia pendidikan pada jenjang dasar di bawah naungan Kementerian Agama yaitu di MI.
Selamat Datang
Kami ucapkan terimakasih telah berkunjung di blog ini, semoga bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi yang membacanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar